Senin, 14 Juli 2008

Persoalan Buruh Migran Ada di Dalam Negeri

Senin, 14 Juli 2008 | 01:14 WIB

Oleh Maria Hartiningsih

Pengungkapan pelanggaran hak asasi manusia atau HAM yang serius terhadap perempuan buruh migran pekerja rumah tangga asal Asia di Arab Saudi dalam laporan khusus adalah pucuk gunung es persoalan buruh migran, khususnya di Indonesia. Akar persoalan ada di dalam negeri dalam cakupan yang sangat luas dan dalam.

Laporan setebal 133 halaman berjudul As If I Am Not Human: Abuses against Domestic Workers in Saudi Arabia diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dalam laporan setebal 155 halaman itu diluncurkan di Jakarta, Selasa (8/7/2008). Hadir Direktur Eksekutif Human Rights Watch Ken Roth dan peneliti senior Human Rights Watch (HRW) Nisha Varia, didampingi anggota Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Sri Wiyanti-Eddyono.

Isi laporan yang penelitiannya dilakukan atas undangan Pemerintah Arab Saudi itu meski menyentak, sebenarnya tak mengejutkan. Telah banyak diketahui, struktur sosial budaya masyarakat di situ menyebabkan pekerja rumah tangga (PRT) cenderung dianggap sebagai budak. Ini diperparah dengan sistem kafala (sponsor), yang menyebabkan nasib PRT migran sepenuhnya berada di tangan majikan.

Laporan itu merekomendasikan beberapa hal, sebagian besar terkait dengan pemerintah negara penerima, meski Ken Roth mendorong negara pengirim bersatu untuk memperkuat posisi tawar. Namun, seluruh upaya itu tak akan efektif kalau masalah akarnya, yakni di dalam negeri, tidak disentuh.

”Yang mendesak dilakukan adalah audit terhadap mekanisme perekrutan, penempatan, dan perlindungan, juga pemetaan persoalan secara mendetail di setiap lini,” ujar Sri Wiyanti.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, misalnya, memberi porsi sangat besar terhadap swasta, sampai seperti pengalihan tanggung jawab negara karena swasta berada di semua lini kegiatan, mulai perekrutan, penempatan sampai pemantauan. ”Ini kan tumpang tindih kepentingan,” tegas Sri Wiyanti.

Dalam dialog publik, Ketua Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Jumhur Hidayat mengakui semua kelemahan yang ada. Namun, ia juga menjelaskan berbagai upaya pembenahannya.

Mekanisme pengiriman buruh migran tampaknya memang ruwet. Kata Sri Wiyanti, banyak titik kegiatan yang tanggung jawabnya tumpang tindih sehingga cenderung saling lempar tanggung jawab. Di titik krusial lain tak ada sama sekali yang menyentuh. Koordinasi antarinstansi tak berjalan baik, demikian juga antarpemerintah daerah dan pusat, sementara rantai perdagangan manusia adalah ancaman riil, khususnya atas buruh migran yang dideportasi.

Bahkan, pemulangan buruh migran bukan soal sederhana. Tindak pemerasan bisa terjadi di mana saja, termasuk kepada buruh migran tak berkasus. Dana untuk perlindungan TKI tak pernah memadai sehingga nasib mereka seperti bola.

Makin terkuak

Sejak awal tahun 1990-an, penyiksaan dan kematian tenaga kerja wanita (TKW) di Arab Saudi mulai terkuak. Pada pertengahan tahun 1990-an, Menteri Urusan Peranan Wanita Mien Sugandhi memberikan pernyataan kritis tentang hal itu. Setelah ”Reformasi”, soal itu terkuak lebar-lebar.

”Tahun 2007, di Riyadh saja, 102 TKW tewas,” ujar Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah. ”Di kota lain, kami tak punya datanya karena tak semua KBRI terbuka.”

Laporan penelitian selama dua tahun melibatkan wawancara dengan 86 TKW, 13 agen perekrut, termasuk enam dari Arab Saudi, 39 petugas pemerintah, dan tujuh aktivis di Arab Saudi itu mengakui, tak semua PRT migran bernasib buruk. Akan tetapi, yang bernasib buruk mengalami perlakuan seperti budak, mulai dari gaji tak dibayar sampai penyiksaan—termasuk penyiksaan seksual—bahkan kematian.

Dalam sistem hukum di Saudi, TKW-PRT korban kekerasan justru dikriminalisasi dengan tuduhan zinah dan melakukan sihir, sedangkan seluruh mekanisme di Indonesia yang cenderung membiarkan impunitas terhadap pelaku terus berlangsung.

”Kami mengadvokasi keluarga mereka untuk menempuh jalur hukum, tetapi lalu datang pihak yang berhasil membujuk jalan damai dengan kompensasi sampai Rp 400 juta. Kasus itu berakhir tanpa penyelesaian pelanggarannya,” kata Anis. Berbeda dengan Pemerintah Filipina, Pemerintah Indonesia tampaknya tak mau direpotkan dengan soal-soal ini.

Jumlah PRT dari Asia di Arab Saudi sekitar 1,5 juta orang—terutama berasal dari Indonesia, Sri Lanka, Filipina, dan Nepal— dari delapan juta tenaga kerja di sana, atau sepertiga jumlah penduduk Saudi. Mereka mengisi kekosongan pelayanan dan jasa di bidang kesehatan, konstruksi dan pekerjaan rumah tangga. Dari Indonesia, menurut aktivis pembela hak-hak buruh migran Wahyu Susilo, jumlahnya sekitar 1,2 juta dari sekitar enam juta TKI di berbagai negara. Sebagian besar bekerja sebagai PRT. Jumlah TKW yang mengalami penyiksaan dan kematian akibat kekerasan, terbanyak terjadi di Arab Saudi.

Sayangnya, laporan itu hanya menghitung besarnya dukungan ekonomi kepada negara asal migran, yakni 15,6 miliar dollar AS tahun 2006, hampir 5 persen pendapatan kotor (GDP) Arab Saudi, tetapi tidak ada penghitungan sumbangan buruh migran terhadap produktivitas di negara penerima.

Sebelum meluncurkan laporan itu, tim HRW melakukan kunjungan resmi kepada Dubes Arab Saudi di Indonesia, DPR, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan. ”Dubes menghargai laporan ini, tetapi ketika membaca judulnya, ia tak terima. Pihak HRW menekankan perlindungan korban kekerasan yang tiap tahun sedikitnya 10.000 orang dari berbagai negara mengadukan kasusnya,” ujar Anis yang mengikuti kunjungan tim HRW itu.

Sebenarnya ada rencana pertemuan antara Pemerintah RI dan Pemerintah Arab Saudi untuk membicarakan masalah penempatan TKI, tetapi pertemuan itu ditunda Pemerintah Arab Saudi sampai tiga kali. ”Katanya Agustus. Kita lihat saja,” ujar Anis.



Tidak ada komentar: