Sabtu, 24 Mei 2008

Fajar Kesadaran dari Utara

Sabtu, 24 Mei 2008 | 00:39 WIB

Maria Hartiningsih dan Ninuk Mardiana Pambudy

Suaranya lantang ketika menjawab pertanyaan, mengapa tenaga kerja Indonesia di luar negeri sebagian besar ”hanya” bekerja sebagai ”pembantu” rumah tangga. ”Lowongan kerja yang ada hanya sebagai ’domestic helper’. Pertanyaan saya, mengapa negara tak menciptakan lapangan kerja yang memadai untuk rakyatnya?”

Dalam permainan catur, jawaban Eni Lestari Andayani (27), Ketua Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI) di Hongkong, itu ibarat sekakmat. Ia sangat peka terhadap bias-bias nilai di balik pertanyaan dan pernyataan orang. Ia juga tahu status pekerja rumah tangga, apalagi di negeri orang, dianggap rendah dan dikerjakan oleh perempuan tanpa pendidikan meskipun asumsi itu dapat dengan mudah dipatahkan.

”Yang harus dipertanyakan adalah perlindungan bagi jutaan buruh migran Indonesia meski ada undang-undang yang katanya melindungi,” ujarnya.

Jumlah buruh migran Indonesia (BMI) saat ini sekitar 3,5 juta yang legal, lebih dari sejuta lainnya ilegal, dan sekitar 76 persennya perempuan. Mereka berada di wilayah kerja ”3D”, dirty, difficult, dan dangerous (kotor, sulit, dan berbahaya).

Namun, dari jenis kerja itulah asal sebagian besar devisa dari remiten buruh migran yang mencapai Rp 35 triliun. Itu belum termasuk uang paspor sebesar Rp 105 miliar dan Rp 1 triliun uang asuransi.

”Rencananya target pengiriman BMI akan dinaikkan, dari 700.000 orang per tahun menjadi 1 juta orang. Negara-negara penempatan diperluas, dari 11 negara menjadi 25 negara,” lanjut Eni.

Eni berbicara dengan suara jelas dan tegas dalam diskusi publik ”Pemberdayaan Perempuan dalam Konteks Muslim” di Jakarta, beberapa waktu lalu, bersama Shadi Sadr dari Iran, Farida Shaheed dari Pakistan, dan Shui Jingyun dari China.

Dia memaparkan kondisi buruh migran Indonesia di Hongkong untuk isu lintas batas (cross border) dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang sangat baik.

Gambaran muram

Eni tahu, porsi buruh migran informal dan tak terampil (unskilled) akan dikurangi menjadi 30 persen dan target devisa dari sektor ini menjadi Rp 186 triliun pada 2009. Ia tahu peluang pasar kerja di luar negeri besar dan pengangguran tenaga kerja terdidik di negeri ini cukup tinggi. Namun, ia juga tahu, membalik gambaran profil BMI tidak semudah membalik telapak tangan.

Inilah gambaran muram yang ia dapatkan dari analisis teman-temannya, peneliti di Institute for National and Democratic Studies: dari 106,28 juta angkatan kerja Indonesia (data Badan Pusat Statistik Agustus 2006), 53,13 persen atau sekitar 56,47 juta adalah lulusan SD ke bawah. Hanya 5,62 persen atau 5,97 juta yang lulusan pendidikan tinggi, 2,44 juta di antaranya dari program diploma.

Dari populasi angkatan kerja itu, lebih dari 40 persen termasuk kategori setengah menganggur dan menganggur. Akan tetapi, ketiadaan data tenaga kerja kontrak jangka pendek (enam bulan-setahun) menyebabkan kategori ”bekerja” tidak termasuk unsur jaminan keamanan untuk terus bekerja (job security).

Perjuangan panjang

Eni adalah satu dari sekitar 120.000 BMI di Hongkong. Namanya sangat dikenal di kalangan aktivis buruh migran sampai di tingkat internasional. ”Majikan saya mendukung aktivitas saya,” ujar Eni.

Ia memimpin aksi-aksi BMI menuntut pelayanan dan perlindungan Pemerintah Indonesia karena ia paham betul akan hak warga negara. Aksi ribuan BMI di Hongkong setiap minggu membuat Konsulat Jenderal RI di Hongkong mencabut SE 2258–yang melarang BMI pindah agen tenaga kerja sebelum dua tahun pertama kontrak–yang dikeluarkannya. Keberhasilan itu menyusul keberhasilan upaya pembuatan paspor sehari jadi dan pembukaan pelayanan di Makau.

”Namun, perjuangan kami masih panjang,” tuturnya seraya menyebut overcharging, potongan gaji ilegal, praktik penahanan paspor, pelayanan bagi BMI pada hari Minggu, dan kontrak mandiri dengan syarat mudah bagi BMI.

Seluruh upaya itu dimungkinkan karena Hongkong mempunyai hukum perburuhan, yang meski mengandung kelemahan, tetap membuka ruang untuk kebebasan berekspresi dan menolak diskriminasi.

Eni tahu, banyak BMI terlibat sistem ijon karena perhitungan biaya penempatan tidak transparan dan perhitungan utang ditentukan oleh pihak pemberi utang. Sebagai contoh, biaya resmi penempatan di Hongkong adalah Rp 9,13 juta. Namun, aturan itu tak pernah berjalan. Biaya resmi itu naik menjadi Rp 16 juta karena masa ”pelatihan” diperpanjang, dari tiga bulan menjadi enam bulan.

Namun, kenyataannya biaya itu membengkak menjadi 21.000 dollar Hongkong atau sekitar Rp 25 juta (overcharging). Setiap BMI dipotong gaji selama 5-7 bulan atau sekitar 25 persen dari nilai kontrak dua tahun. Praktik agen itu sebenarnya menyalahi hukum ketenagakerjaan di Hongkong.

”Kecenderungannya malah setelah lunas potongan lima sampai tujuh bulan, lalu buruh di-PHK dan harus mulai dari awal lagi,” ungkap Eni, yang menduga ada provokasi agen di balik semua itu sehingga banyak BMI lari ke Makau.

Menurut Eni, Pemerintah Hongkong bahkan tidak mewajibkan adanya agen. ”Negara kita yang mewajibkan itu, katanya untuk melindungi,” lanjut Eni.

Namun, perlindungan yang diserahkan pada agen tenaga kerja, seperti tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, menurut dia, seperti pengesahan praktik perbudakan.

Transformasi

Eni berangkat ke Hongkong ketika usaha orangtuanya remuk diterjang krisis ekonomi mulai tahun 1997. Ia sempat mau menjadi buruh pabrik sebelum akhirnya memutuskan berangkat sebagai BMI ke Hongkong pada tahun 1999. Selama dua tahun pertama ia bekerja pada macam-macam majikan dan pernah tak menerima gaji.

Ia sempat tinggal di rumah singgah buruh migran di Bethune House ketika tak punya pekerjaan. Di situ kesadaran kritisnya dibuka oleh teman- temannya dari Filipina. Dari situ ia sadar bahwa nasib buruh migran hanya bisa bersandar pada perjuangan BMI. Ia mulai aktif melakukan pelatihan, konseling, aksi, dan membuat kajian-kajian kritis terkait dengan berbagai peraturan.

Eni dan kawan-kawannya sadar bahwa pelanggaran tak hanya terjadi di negara orang, tetapi bahkan di pintu terdepan kepulangan buruh migran ke Tanah Air.

”Mungkin dipikirnya buruh migran itu sumber uang ya,” tuturnya. ”Kami ini menabung saja susah. Kirim uang ke Indonesia Rp 1,5 juta cukup apa? Biaya hidup di sini makin mahal. Akhirnya kami terdorong memperpanjang terus.”

Eni tak tahu kapan ia pulang. Tetapi, kesadarannya telah sampai pada point of no return. Hongkong seperti menjadi pusat perlawanan buruh migran menuntut keadilan. Di situ matahari kesadaran telah terbit....


Tidak ada komentar: