Senin, 05 Mei 2008

Mayday: Masih Belum Membaik Nasib Buruh Migran Indonesia

Sosial Budaya | 01.05.2008--Para tenaga kerja di luar negeri merupakan roda penggerak perekonomian keluarga, sekaligus perekonomian negara. Tapi sepertinya nasib mereka tidak terlalu diperhatikan.

Beberapa kasus kekerasan dan penipuan yang terjadi belakangan memperlihatkan masih belum adanya apresiasi bagi kontribusi para buruh migran. Begitu banyak kasus-kasus kekerasan menimpa tenaga kerja Indonesia TKI yang belum tuntas. Misalnya kasus penyelundupan TKI yang menjadi korban perdagangan manusia ke Irak. Belum lagi kasus-kasus penyiksaan, misalnya yang menimpa Ceriyati. Kemudian vonis bersalah namun tanpa sanksi hukum bagi majikan Nirmala Bonat yang disiksa majikannya di Kuala Lumpur. Lalu kasus pembantu Yanti Iriyanti yang meninggal di Arab Saudi. Serta penderitaan beberapa TKI seperti Siti Zaenab dan kawan-kawan yang menunggu nasib di tiang gantungan. Timur Tengah masih menempati ranking tertinggi kasus-kasus yang menimpa buruh migran Indonesia.

Buruh migran perempuan, biasanya yang lebih menderita nasibnya. Mereka kerapkali lebih dibatasi untuk bergaul. Demikian dikatakan Chairi, seorang supir di Riyadh:

"Laki-laki masih bisa menyampaikan unek-unek pada teman. Tapi yang perempuan, mana bisa keluar. Untuk beli telefon genggampun terkadang tak diperkenankan."

Bukan hanya masalah pergaulan atau gaji, melainkan juga kasus-kasus pelecehan seksual. Seperti diceritakan oleh seorang TKI di Jedah, Nasri Mansyur: "Sampai dari Indonesia baru 15 hari langsung kabur karena diganggu anak majikan. Masalahnya adalah pelecehan seksual. Ditangkap oleh supir taksi, kemudian dijualbelikan, sampai mati, dibuang ke tong sampah, itu yang terjadi."

Kisah lain disampaikan Dhofri Azahari, seorang pekerja di Riyadh, Arab Saudi. Ia menceritakan baru-baru ini ada kawannya yang menolong TKI yang diperkosa. Namun karena si penolong tidak berdokumen lengkap, maka penolong yang terkena masalah.

"Banyak yang telantar. Mengadu kepada pihak berwajib di sini tampaknya tidak berguna. Ada pemerkosaan, kemudian diambil orang, ditolong. Namun ternyata yang menolong malah dipersalahkan."

Para buruh migran pria yang ingin menolong rekan-rekannya buruh migran perempuan, akhirnya terkadang merasa kesulitan. Bahkan untuk menolong istri sendiri. Seperti dipaparkan Chairi, seorang supir pribadi yang bekerja di Riyadh: "Istri saya saja melapor ke saya. Kerjaan ini belum beres sudah harus mengerjakan yang lain. Kadang saya hampir naik darah, namun terpaksa saya tidak perlihatkan kepada dirinya. Saya lembutkan hatinya, agar bilang baik-baik pada majikan, bila satu kerjaan selesai baru bisa menyelesaikan yang lain."

Bukannya mereda, kasus-kasus yang dialami oleh para buruh migran Indonesia di Timur Tengah, dari waktu ke waktu malah semakin meningkat. Demikian data yang dihimpun oleh Perhimpunan untuk Buruh Migran Berdaulat, yang disampaikan oleh Wahyu Soesilo, pegiat hak buruh migran dari organisasi Migrant Care:

"Ada peningkatan kasus lebih dari 100 persen sepanjang tahun 2007 dibanding tahun 2006. Tahun 2006 ada 36 ribu kasus, sementara tahun 2007 ada 80 ribu kasus."

Kasus-kasus yang menimpa buruh migran Indonesia di manca negara bukan hanya terjadi di Timur Tengah. Baru-baru ini seorang buruh migran asal Grobogan, Jarwati, tewas di Singapura, akibat terjatuh dari gedung bertingkat kala membersihkan jendela.

Organisasi Migrant Care hingga kini masih menyuarakan desakan agar pemerintah mau membuka mata dan mengulurkan tangan bagi para pekerja migran. Migrant Care berharap agar pembantu rumah tangga migran diakui sebagai pekerja formal yang dilindungi hukum. Migrant Care juga meminta agar pemerintah segara menyelesaikan kasus-kasus kekerasan yang telah menimpa para tenaga kerja di manca negara, seperti kasus Ceriyati, Nirmala Bonat, para TKI yang terjebak di negara yang dililit konflik, kematian TKW dan lain-lain.

Di luar itu pemerintah juga dituntut mencabut produk-produk hukum nasional dan regional yang diskriminatif dan meligitimasi praktik kekerasan terhadap pekerja migran. Tidak ketinggalan tuntutan agar dihapuskannya terminal khusus bagi kepulangan buruh migran Indonesia, agar tidak terjadi lagi kekerasan dan pemerasan. Dan yang terpenting, pemerintah menerbitkan peraturan bilateral dan regional yang protektif bagi perlindungan pekerja migran.

Ayu Purwaningsih

Tidak ada komentar: