Selasa, 12 Agustus 2008

Hentikan Penggusuran! Laksanakan Land Reform Sejati!

Jakarta, AGRA—Kaum tani yang berhimpun dalam Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), serikat tani militant dan demokratis, menuntut pemerintah SBY untuk menghentikan berbagai upaya yang bisa mengarah pada penggusuran lahan milik rakyat. AGRA juga menuntut agar seluruh rencana penyusunan undang-undang maupun rancangan undang-undang yang bisa melegitimasi penggusuran tanah rakyat harus segera dihentikan.

Erpan Faryadi, Sekretaris Jenderal Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), menyatakan bahwa penguasaan tanah secara monopoli, baik oleh perusahaan-perusahaan perkebunan, kehutanan, maupun pertambangan, sesungguhnya tidak akan menjamin kelangsungan produksi melainkan hanya akan menjadi obyek spekulasi dan kian memperburuk krisis ekonomi.

Pernyataan ini disampaikan Erpan Faryadi menanggapi adanya ekspansi besar-besaran perkebunan kelapa sawit dan berbagai upaya deregulasi kebijakan pemerintah yang intinya mempermudah perolehan konsesi lahan yang kerap berujung pada penggusuran lahan petani dan melahirkan berbagai bentuk konflik sosial.

Erpan Faryadi menjelaskan bahwa motivasi penguasaan tanah secara monopoli di era krisis overproduksi seperti saat ini sesungguhnya bukanlah untuk mempertinggi produktivitas ekonomi. Sebaliknya, justru untuk menghancurkan pertumbuhan produksi ekonomi. Karenanya, pikiran pemerintah SBY yang hendak mempermudah upaya konsolidasi lahan untuk kepentingan infrastruktur seperti jalan, pertambangan, perkebunan, dan lain-lain, yang dikatakan demi menarik investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi, sesungguhnya pikiran yang salah.

Untuk memperjelas pemaparannya, Erpan Faryadi mengemukakan beberapa contoh. Ekspansi besar perkebunan kelapa sawit yang menyebabkan Indonesia menjadi negara produsen CPO (crude palm oil) terbesar di dunia ternyata tidak serta merta menyebabkan Indonesia terbebas dari krisis pangan, khususnya minyak goreng. Harga minyak goreng justru melambung pada saat Indonesia mampu melampaui posisi Malaysia dalam hal produksi CPO.

Contoh lain adalah diberikannya konsesi lahan pertambangan minyak di Cepu kepada perusahaan raksasa minyak ExxonMobil ternyata tidak mampu mendongkrak produksi minyak Indonesia yang hingga tahun ini masih berada dibawah tingkat konsumsi. Akibatnya, hingga saat ini Indonesia masih harus mengimpor minyak dan ketika harga minyak melambung tinggi, pemerintah kelabakan dan memaksa rakyat untuk membeli BBM dengan harga yang lebih mahal.

Kedua fakta diatas jelas mengecewakan rakyat. Iming-iming hidup lebih baik sebagaimana dijanjikan SBY-JK tidak terwujud. Logika yang menyatakan bahwa investasi asing akan memberikan nilai tambah pada tanah ternyata tidak pernah terbukti. Sebaliknya, investasi asing ternyata memperburuk nilai tanah, karena jumlah penerima manfaat semakin kecil dan keuntungan yang diperoleh atas tanah tersebut semakin terkonsentrasi di tangan segelintir.

“Padahal rakyat sudah banyak berkorban. Lahan-lahan garapan pertanian rakyat telah banyak digusur demi pembangunan perkebunan-perkebunan kelapa sawit atau pertambangan minyak skala besar seperti di Cepu,” tegas Erpan. “Bila kerugian-kerugian rakyat ini ditambah dengan beban-beban sosial yang timbul akibat penggusuran, secara umum, investasi asing untuk proyek-proyek infrastruktur besar justru lebih banyak merugikan rakyat Indonesia.

Land-reform pro-pasar
Erpan menjelaskan, hal ini merupakan agenda lama yang didesakkan negara-negara maju dan perusahaan-perusahaan kapitalis-monopoli transnasional melalui beberapa proyek reformasi pertanahan yang didanai Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB). Proyek ini dikenal dengan Land Administration Project (LAP) yang dilaksanakan BPN dengan dana Bank Dunia sejak dekade 1990-an dan secara esensial masih tetap dilanjutkan sampai saat ini.

Proyek ini ditujukan untuk menyusun database pertanahan yang memadai, sehingga bisa mendukung penciptaan pasar tanah yang ramah bagi kepentingan investasi. Di kalangan masyarakat, proyek ini dikenal dengan proyek sertifikasi lahan yang sebagian diberikan secara gratis kepada masyarakat. Implikasi dari proyek ini adalah menguatnya unsur kepemilikan individual atas tanah dan menghapuskan seluruh ikatan-ikatan sosial masyarakat dengan tanah.

Proyek ini menuai tantangan yang cukup besar, khususnya dari kalangan masyarakat adat dan suku bangsa minoritas karena secara langsung merusak tatanan hak milik komunal berdasarkan hukum ulayat atas tanah tempat tinggalnya. Akibat besarnya penolakan rakyat terhadap proyek administrasi pertanahan Bank Dunia kerap mengalami kebuntuan.

Tekanan akan pentingnya reformasi aturan pertanahan semakin kuat sejak SBY-JK mencanangkan berbagai proyek infrastruktur besar demi menarik investasi. Akan tetapi, sejak dicanangkan Januari 2005 lalu, realisasi investasi untuk proyek-proyek infrastruktur besar masih berada di bawah harapan pemerintah. Masalahnya tidak lain, selain karena sulitnya memperoleh akses atas tanah yang dibutuhkan.

Pemerintah sempat berupaya menerobos blokade rakyat dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 tahun 2005. Perpres itu memuat berbagai ketentuan yang intinya memudahkan akses pemerintah untuk melakukan penggusuran dan mengonsolidasi lahan untuk ‘kepentingan pembangunan’.

Hal yang sama juga dialami oleh UU Penanaman Modal yang baru disahkan tahun 2007 lalu. Aturan-aturan yang memudahkan penggusuran dan konsolidasi lahan rakyat mendapatkan kecaman dan perlawanan dari rakyat. Bahkan, mahkamah konstitusi memutuskan bahwa aturan tersebut bertentangan dengan UUD 1945. “Sekali lagi, perlawanan rakyat menyebabkan perpres 36 tahun 2005 itu mengalami kebangkrutan,” tegas Erpan.

Kini, proyek reformasi administrasi pertanahan ini dilaksanakan dalam bentuk penyusunan rancangan UU Pertanahan yang baru dengan sponsor Bank Pembangunan Asia (ADB) melalui perantaraan Badan Pertanahan Nasional (BPN). “Penyusunan RUU ini sendiri terkesan diam-diam. Hingga saat ini, pemerintah cenderung tidak berani melakukan konsultasi secara terbuka dengan rakyat. Pertanyaannya, mengapa harus diam-diam? Pasti ada yang disembunyikan!” tandas Erpan.

Aksi Nasional

Pada saat ini, petani-petani di Kulonprogo, Yogyakarta tengah berjuang menolak proyek pertambangan pasir besi yang akan mencaplok lahan garapan mereka. Demikian pula dengan petani-petani dari Jatigede, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Hingga kini, nasibnya masih belum jelas karena terancam akan digusur bila proyek pembangunan waduk Jatigede jadi dilaksanakan.

Selain itu, petani dari Kecamatan Pagak, Kabupaten Malang dan Rumpin, Kabupaten Bogor juga resah karena terkait dengan adanya upaya pembenahan administrasi atas aset-aset TNI, keberadaan mereka dan lahan-lahan garapannya bisa jadi terancam. Apalagi, lahan-lahan dibawah penguasaan TNI tersebut kabarnya akan diserahkan kepada pihak swasta untuk dikelola secara komersial.

Dari Garut dan Banyuwangi, sebagian petani yang menggarap lahan terlantar di areal HGU PTPN telah ditangkap kepolisian dan hendak dihadapkan kepada pengadilan. Sebagian lagi terpaksa menyingkir guna menghindari pengejaran dan intimidasi. Lahan garapan tempat mereka menggantungkan hidup telah dirampas. Intimidasi dan rangkaian kekerasan fisik dan psikologis kian memperburuk kehidupan mereka.

Di Sambas, Kalimantan Barat dan Labuhan Batu, Sumatera Utara, ekspansi perkebunan kelapa sawit memperuncing konflik antara kaum tani dengan perkebunan-perkebunan besar kelapa sawit. Selain dipaksa merelakan lahan garapannya dicaplok perusahaan-perusahaan perkebunan besar, kaum tani dan rakyat setempat juga dipaksa menelan dampak buruk akibat herbisida paraquat dan pencemaran air yang mengganggu kesehatannya. Beberapa pemimpin petani dari dua wilayah tersebut telah menjadi korban kekerasan dan penangkapan sewenang-wenang aparat kepolisian setempat.

Kejadian-kejadian tersebut adalah sebagian contoh dari masalah-masalah agraria yang nyata di Indonesia saat ini. Kasus-kasus ini akan semakin banyak apabila pemerintah tetap menjalankan liberalisasi dan deregulasi dalam kebijakan pertanahan. Kejadian-kejadian ini menuntut perhatian nasional dan penyelesaian segera secara damai.

Untuk itu semua, Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) mengumumkan akan melaksanakan aksi protes secara nasional yang puncaknya dilaksanakan di Jakarta, Kamis (14/8) yang akan datang. Aksi ini akan diikuti oleh ribuan petani dari berbagai wilayah di Indonesia menuntut dihentikannya berbagai tindakan kekerasan, kriminalisasi, dan penangkapan terhadap petani dan mendesak pemerintah SBY-JK untuk melaksanakan land-reform sejati di seluruh Indonesia.***


Tidak ada komentar: