Jumat, 19 Desember 2008

Pemerintah Masih Belum Optimal Bela TKI

Jumat, 19 Desember 2008 | 03:00 WIB

Jakarta, Kompas - Buruh migran Indonesia, baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri, merayakan Hari Buruh Migran Internasional, Kamis (18/12),dengan berbagai cara.

Isu utama adalah menuntut pemerintah meningkatkan perlindungan bagi buruh migran. Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Miftah Farid mengatakan, mekanisme perlindungan buruh migran belum jelas dalam undang-undang.

SBMI menuntut pemerintah segera merevisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, yang lebih mengedepankan perekrutan dan penempatan.

Sedikitnya enam juta buruh migran Indonesia bekerja di luar negeri. Mereka mengirim uang sedikitnya Rp 85 triliun tahun 2008, naik signifikan dari Rp 44 triliun tahun 2007. Dari jumlah tersebut, sedikitnya dua juta buruh migran Indonesia bekerja tanpa dokumen.

Direktur Eksekutif Migrant CARE Anis Hidayah dalam aksi bersama 19 organisasi peduli buruh migran di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, mengatakan, mereka menuntut supaya pemerintah mencabut UU No 39/2004 yang tidak berorientasi melindungi buruh migran.

Pemerintah dinilai memandang buruh migran sebagai sumber penghasil devisa. Padahal, mereka terpaksa ke luar negeri karena tidak tersedia lapangan kerja di dalam negeri.

Tuntutan serupa juga disampaikan buruh migran Indonesia di Hongkong. Dalam aksi di depan Konsul Jenderal RI di Hongkong, Eni Lestari dari Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI) Hongkong menilai UU No 39/2004 lebih mengedepankan kepentingan pengusaha.

Ketua Umum Indonesian Migrant Workers Union Rusemi menambahkan, pemerintah harus segera meratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 Tentang Perlindungan Buruh Migran dan Seluruh Anggota Keluarganya.

Ketua Pedoman Indonesia Fadjroel Rachman menilai, TKI merupakan korban rezim yang tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat. TKI sesungguhnya merupakan bukti paling nyata kegagalan SBY-JK membangun perekonomian rakyat. (ham/gun)




Rabu, 22 Oktober 2008

Pernyataan Sikap ATKI atas Revisi UU No. 39 tahun 2004

Ratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya Sekarang Juga!

Sikap Buruh Migran dalam Menyikapi Rencana Pemerintahan SBY-Kalla yang Akan Melakukan Amandemen Terhadap UUPTKILN No. 39/2004

Krisis keuangan yang menghantam dunia saat ini bukan hanya menimbulkan kepanikan diantara pemimpin dunia, terutama negara-negara besar khususnya Amerika Serikat, namun juga memicu semakin dalamnya penindasan yang dialami rakyat di negeri-negeri dunia ketiga, tak terkecuali Indonesia.

Sebagai negara yang hanya menjadi penyedia sumber daya dan sekaligus pasar bagi ekspor komoditas industri negara-negara besar, Indonesia semakin tidak berkutik ketika beberapa komoditas andalan, seperti sawit, mengalami kerontokkan harga di pasaran dunia. Demikian pula dengan keadaan perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia. Jatuhnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menyebabkan pemerintah SBY-JK memberikan dana tanggungan yang cukup besar untuk mengganti kerugan-kerugian para spekulan melalui kebijakan buyback saham BUMN sebesar Rp 6 triliun.

Gejolak krisis finansial yang ditandai dengan mengerutnya pasar Amerika Serikat telah berdampak secara langsung maupun tidak langsung bagi buruh migran. Pada saat ini, ribuan buruh migran Indonesia yang bekerja di sektor manufaktur di negeri-negeri penempatan seperti Taiwan, Malaysia, dan Korea Selatan tengah menghadapi ancaman PHK akibat bangkrutnya pabrik-pabrik tempat BMI bekerja. Ancaman serupa juga bukan tidak mungkin dihadapi oleh buruh-buruh migran Indonesia di negara-negara penempatan lainnya, di Hong Kong misalnya, sekitar 40.000 warganya kehilangan dana yang mereka tanamkan di produk-produk investasi.   Status sebagai buruh migran dengan upah rendah dan tanpa perlindungan hukum yang memadai, memperentan posisi BMI dari berbagai ancaman pelanggaran hak dalam kondisi krisis ini.

Menghadapi krisis seperti ini, pemerintahan SBY-Kalla memilih untuk mengorbankan rakyatnya sendiri demi terus menyokong kepentingan ekonomi negara-negara besar, terutama Amerika Serikat, dengan jalan mengintensifkan pengiriman tenaga kerja Indonesia dengan target tahun 2009 sebanyak satu juta, untuk memenuhi kebutuhan pasar buruh murah dunia, dan juga meningkatkan target pemasukan dari uang kiriman TKI sebesar Rp 125 triliun (Tabloid Kontan, Edisi Minggu II Oktober 2009) untuk melipat gandakan pengerukan devisa dari proses ekpsor manusia ini, sebagai injeksi dari ketergantungan Indonesia terhadap impor yang sudah sangat akut.

Sejak awal pemerintahan Sby-Kalla ini, mereka tidak sedikitpun menunjukan upaya untuk meingkatkan perlindungan bagi buruh migran Indonesia (BMI), sebaliknya mereka secara sistematis terus memaksimalkan potensi ekonomi dari proses pengiriman BMI, hal ini tercermin dalam program pemerintah mengenai percepatan pemulihan iklim investasi yang dituangkan dalam Inpres No. 3 tahun 2006 yang memasukan pengiriman BMI sebagai bagian dari paket kebijakan ini.

Kerangka inilah yang kemudian yang mendorong lahirnya Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) yang terbukti hanya memiliki fungsi untuk semakin memperluas daerah tujuan pengiriman TKI, meningkatkan pemasukan negara, dan menggenjot peningkatan jumlah pengiriman TKI pertahunnya, namun lemah dalam peningkatan perlindungan. Selain itu, hal ini juga mendorong perubahan-perubahan regulasi untuk semakin memuluskan proses ekspor manusia ini, yang salah satunya tercermin dalam rencana amandemen UUPPTKILN No. 39/2004.

Argumen pemerintah yang berupaya menyembunyikan kebusukannya dengan mengatakan amandemen  UUPPTKILN ini dilakukan untuk meningkatkan perlindungan bagi BMI, telah mereka bantah sendiri dengan kebijakan-kebijakan mereka sebelumnya, selain itu, belum di ratifikasinya konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya semakin menguatkan bukti bahwa pemerintahan SBY-Kalla ini, memang tidak pernah memiliki keinginan untuk melindungi dan mensejahterakan rakyatnya.

Isu tentang amandemen UU No. 39 tahun 2004 tentang PPTKILN memiliki dua pertimbangan; (1) untuk melayani kepentingan PJTKI guna mempermudah perijinan supaya bisa menunjang program pencapaian target pengiriman buruh migran Indonesia sebesar satu juta BMI per tahun; (2) mengalihkan perhatian buruh migran Indonesia dari tuntutan atas Ratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya yang selama ini didesakkan oleh buruh migran Indonesia.

Dalam pandangan ATKI, wacana tentang revisi UU No. 39 tahun 2004 hanya bisa dilakukan apabila pemerintah Indonesia memiliki framework perlindungan buruh migran yang komprehensif dan diakui secara internasional. Dengan demikian, revisi tersebut secara logika hanya bisa dilakukan pasca pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya. Konvensi tersebut tidak hanya berguna sebagai payung kebijakan perlindungan di dalam negeri, melainkan juga dapat menjadi instrumen untuk memandu politik diplomasi luar negeri, khususnya dengan negara-negara penerima BMI. 

Dengan demikian, ratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya adalah kunci yang tidak hanya bisa memandu politik gerakan buruh migran terkait dengan UU No. 39 tahun 2004 melainkan juga menjadi referensi utama untuk melakukan koreksi yang fundamental atas kebijakan-kebijakan pemerintah RI tentang penempatan dan perlindungan buruh migran Indonesia. 

Untuk itu, Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia-Hong Kong (ATKI-HK) menyatakan sikap:
1. Cabut UU PPTKILN No. 39 Tahun 2004
2. Ratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 Perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya sekarang juga
3. Tetapkan biaya penempatan maksimum satu bulan gaji dan hapus biaya training 
4. Hapuskan terminal khusus TKI

Hong Kong 22 Oktober 2008

Eni Lestari
Ketua ATKI-HK



Rabu, 17 September 2008

Rumah Singgah ATKI Jakarta

Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia, Biro Informasi Jakarta meluncurkan Situs Baru yang diberinama "Rumah Singgah ATKI Jakarta". Situs ini paralel dengan situs Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia yang secara khusus dikelola di Jakarta.

Kedua situs ini menjadi corong perjuangan politik ATKI untuk membela dan mempertahankan hak-hak buruh migran Indonesia.

Semoga situs-situs yang dirilis ATKI bisa bermanfaat untuk kemajuan gerakan buruh migran Indonesia.



Jumat, 12 September 2008

5 Pria Bertopeng Perkosa TKW Indonesia di Malaysia





Jumat, 12 September 2008 12:19 WIB
KUALA LUMPUR — Seorang tenaga kerja wanita (TKW) asal Indonesia di Malaysia diperkosa di dalam mobil di Bukit Dumbar, George Town, Malaysia.Ketika itu, wanita berusia 20-an tahun yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga berjalan seorang diri di jalanan. Tiba-tiba, dia dibawa masuk ke sebuah mobil dan dilarikan ke suatu tempat.
The Star Online melaporkan, wanita yang dirahasiakan identitasnya itu selama dalam perjalanan tidak sadarkan diri karena telah dibius.
"Ketika terbangun beberapa jam kemudian, dia mendapati lima pria bertopeng berdiri dekat tubuhnya yang telanjang. Dia kemudian disuruh berpakaian. Salah seorang dari mereka membawanya kembali ke tempat dia diculik,"
kata pejabat kepolisian setempat, Azam Abd Hamid."Korban selanjutnya membuat laporan ke kantor polisi Jelutong. Dia kemudian dikirim ke Rumah Sakit Penang dan hasil pemeriksaan membenarkan kalau dia diperkosa," kata Hamid di Kuala Lumpur, Malaysia, Jumat (12/9).

Minggu, 24 Agustus 2008

Konsulat Indonesia Harus Melindungi BMI dari Pemerasaan Agency


Peraturan baru tentang penghentian pengenaan pajak bagi majikan dari pembantu asing yang dikeluarkan pemerintah Hong Kong dan berlaku efektif sejak tanggal 1 Agustus 2008, berdampak pada maraknya PHK atas buruh migran, tidak terkecuali buruh migran Indonesia (BMI).

Namun atas desakan keras buruh migran, pemerintah Hong Kong memberikan beberapa pengecualian hukum untuk “mempermudah” proses pembaharuan kontrak, dengan tidak mewajibkan buruh migran meninggalkan Hong Kong selama proses pengajuan izin kerja, dan percepatan proses dokumen izin kerja.

Walaupun upaya pemerintah Hong Kong ini tidak sepenuhnya memenuhi tuntutan komunias buruh migran di Hong Kong, namun setidaknya keputusan tentang pengecualian atas beberapa hukum yang berlaku, menunjukan pemerintah Hong Kong tidak bisa mengelak dari tuntutsn keras komunitas buruh migran.

Hal berbeda ditunjukan oleh perwakilan pemerintah Indonesia di Hong Kong, walaupun sekitar 120.000 BMI di Hong Kong terancam mengalami PHK, namun Konsulat Indonesia tidak melakukan tindakan apapun untuk merespon hal tersebut. Upaya pemerintah Hong Kong untuk mempermudah dan mempercepat pengurusan izin kerja buruh migran selama seluruh dokumen lengkap dan telah di sahkan konsulat masing-masing negara, tidak dibarengi dengan kemudahaan proses pengesahan dokumen kerja di Konsulat.

Eni Lestari, coordinator PILAR mengatakan didepan massa aksi PILAR yang di gelar didepan konsulat RI di Hong Kong, minggu 24/08/2008 “Konsulat Indonesia yang dipimpin Ferry Adamhar, tidak sedikitpun melakukan upaya untuk melindungi 120.000 warganya yang menjadi BMI di Hong Kong yang terancam PHK atas peraturan baru ini”.

Eni menambahkan “Dengan mewajibkan pengurusan pengesahan dokumen kerja melalui agency, KJRI sama saja menempatkan BMI kedalam mulut buaya, dan sebaliknya memberikan kesempatan bagi agency untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari BMI”.

Setelah PILAR mengadakan protes minggu sebelumnya, akhirnya KJRI memanggil Agency, dan meminta seluruh Agency untuk tidak memungut biaya atas pengurusan pembaharuan kontrak agi BMI yang mengalami dampak dari peraturan pemerintah Hong Kong tentang pajak.

“Pertemuan itu bagi kita adalah drama, konsulat seakan-seakan menjadi pihak yang melindungi BMI dan sangat memperhatikan BMI, dengan meminta agency untuk tidak memungut biaya terhadap BMI” ujar Eni

Eni mengungkapkan “Semua orang tahu, Agency adalah kumpulan orang-orang yang licik, penipu, rakus dan akan menggunakan cara apapun untuk memeras BMI, bagaimana KJRI bisa yakin BMI akan terlindungi dari pemerasan bila hanya bermodalkan pertemuan dan “menasihati” Agency agar tidak mengambil uang BMI”

“Saat ini, PILAR telah mendapatkan pengaduan puluhan BMI yang tetap diwajibkan membayar biaya pengurusan dokumen oleh agency, yang jumlahnya bervariasi dari HK$ 300 sampai enam bulan potongan gaji” ungkap Eni

“KJRI harus bertanggung jawab terhadap kasus ini, dan segera melakukan tidakan tegas terhadap Agency yang terus menerus memeras BMI” tegas Eni.#


Selasa, 19 Agustus 2008

International Migrant Alliance

This was the short clip shown during the opening of the IMA Founding Assembly in City University of Hong Kong last June 15, 2008.

It has moved many delegates to tears, only proving the plight faced by millions of migrants, refugees and the displaced. Yet, it likewise showed the growing and united struggle of the sector as they formally established the IMA.

The founding assembly was attended by more 167 participants from more than 100 organizations all over the world.



Press Statement

17 August 2008

Europe migrant organizations and advocates hail the announcement of the convening of the International Assembly of Migrants and Refugees, and vows to join other progressive migrants and refugees in Manila in October 2008

Progressive migrant organizations in Europe join the International Migrants' Alliance (IMA) and Migrante International in announcing today the convening of the International Assembly of Migrants and Refugees (IAMR), which is going to be held in Manila Oct. 28-30, as a parallel activity of migrants themselves to the Global Forum on Migration and Development (GFMD).

The convening of the IAMR presents a big occasion for the militant and progressive migrant organizations all over the world led by the IMA to speak, let their voices heard and flex their political muscles, after their successful founding assembly in June 2008. The IAMR is an important political battle to draw the line between the real voices and representatives of migrants and their genuine friends, those of governments in the GFMD who promote a perverse notion of development through the greater commodification and exploitation of migrant labor, and the paid hacks of big businesses and reactionary states masquerading as migrant rights advocates.

Indeed, the convening of the IAMR spearheaded by the IMA and Migrante International , is the opening salvo for progressive migrants to expose and fight the notion that 'development' thru migration and reliance on remittances are development tools. They are in fact “neoliberal anti-poverty and financing concepts and strategy that thrives on people’s exploitation and miseries of migrants, enhances labor flexibilization and therefore, greater commodification of labor, and only brings Third World countries into the quagmire of poverty because these do not address the root causes of underdevelopment and the massive migration of peoples from poor countries”.

We join progressive forces in the Philippines and abroad in condemning the Arroyo regime for shamelessly colluding with big business, illegal recruiters, human traffickers, and racketeers to promote its labor export policy, milk Filipino migrants dry of their blood and sweat earnings, and use migrants' remittances to pay for the country's unjust foreign debts incurred largely from corrupt and anti-people policies and practices and as oil to its campaign to remain in power and political repression.

As we wave the banner of the progressive alliance of migrants worldwide, and prepare for this big political event in Manila in October, we urge and invite all other progressive migrant organizations and their genuine advocates in Europe and the rest of the world to join us in the International Assembly of Migrants and Refugees in Manila, Oct. 28-30.

We also ask our local and foreign media friends to listen to what we, as progressive migrants, have to say about our real conditions, our issues and our hopes for ourselves, our family and our future. We ask them to listen to what we would not be allowed to say in the pampered, airconditioned and carpeted halls of the GFMD official venue(s).

We shall shout for everyone to hear:

Migrants of the world, unite!
Fight poverty and globalization, ensure jobs at home, and stop forced migration!
Uphold and Protect the rights of migrants and refugees!
United, we shall break the oppressive chains of the anti-people neoliberal globalization!

Issued/endorsed by:
International Migrants Alliance (IMA) Europe :
ATIK-Confederation of Workers from Turkey in Europe (Germany)
MIGRANTE-Europe (The Netherlands)
MIGRANTE Netherlands (The Netherlands)
Ugnayang Radyo Pinoy (Denmark)
MIGRANTE-UK (United Kingdom)
UMANGAT (Rome, Italy)
AYIGF-Federation of Workers from Turkey in Austria.
ATIK-Yeni Kadin Woman Commission Germany,
ATIF-Federation of Workers from Turkey in Germany.
ITIF-Federation of Workers from Turkey in Switzerland.
HITIF-Federation of Workers from Turkey in Holland


MIGRANTE Europe Network :
PINAS FIRST (Austria)
UPB (Belgium)
Cordibel (Belgium)
MSP-Belgium (Belgium)
Ugnayan sa Denmark (Denmark)
Kadamay-UK
LAMPADA (Milan, Italy)
MSP-Rome (Italy)
Ugnayan sa Himpapawid (Rome, Italy)
Pinay sa Holland (Netherlands)
Kabalikat (Netherlands)
MSP-Netherlands
LINKAP (Netherlands)
Migrante-Geneva (Switzerland)
FREN (Netherlands)

For reference:
Grace Punongbayan
International Migrants Alliance- Europe
+ 31 . 6. 330 56 411







Senin, 18 Agustus 2008

Migrant groups to protest global forum on migration

By Veronica Uy
INQUIRER.net
First Posted 18:09:00 08/18/2008

MANILA, Philippines—An international coalition of overseas workers and migrants' rights advocates vowed Monday to stage "the strongest opposition" against the Second Global Forum on Migration and Development that the Philippines will host in October.

"The 10 days leading to the GFMD, from October 19 to 29, shall be marked by the strongest opposition mounted by grassroots migrants all over the world,” Eni Lestari, chairperson of the International Migrants Alliance, said in an e-mail to media outlets.

“For 10 days, we shall shake the GFMD down to its core agenda," Lestari said.

Lestari said the "10 Days to Shake the GFMD" campaign will feature dramatic actions from different countries that will highlight migrants' national and international concerns.

Noting that the forum will take place in the middle of a crisis, Lestari said the GFMD will only "intensify the labor export industry, aggravate the conditions in many backward and poor countries, and perpetuate forced migration of people."

Arguing against globalization in general and state-sanctioned labor migration, the IMA chairperson said globalization has increased the disparity between rich and poor countries, and has caused the present global crisis. On the other hand, labor migration has become a major source of income for poor countries.

Lestari also said that while combined remittance of migrant workers around the world total $2.26 trillion, the main stakeholders -- the migrants themselves -- are not party to the forum.

"For the GFMD to talk about the rights of migrants is devoid of sincerity and full of hypocrisy,” Lestari said.

“Attacks to the rights of migrants, immigrants, refugees, and other displaced people are happening everywhere, every day. Ironically, the violators of the rights of migrants -- through grave anti-migrant policies -- are the same countries in the GFMD," Lestari said.

The IMA leader also criticized the GFMD organizers for holding the Philippine labor export in high esteem, calling it "scandalous given the Philippine government's worse than poor record in upholding the rights of its overseas nationals."



Migrant Group Remembers OFW Victims of Violence, Launch Campaign Against Global Forum on Migration and Development

BY BULATLAT
Aug. 17, 2008 - 4:01 p.m.

Migrante International held a wreath laying and press conference this morning at the Bantayog ng mga Bayani, near the corner of EDSA and Quezon Ave., to show the true face of migrant Filipinos and to pay tribute to overseas Filipino workers (OFW) who have died under questionable circumstances. Photos of OFWs who became victims of violence and abuse served as backdrop to the press conference.

Joining Connie Bragas-Regalado, chairperson of Migrante, in the press conference were Gabriela Women's Party Rep. Luzviminda Ilagan, Rita Baua of Bagong Alyansang Makabayan, Sonny Africa of IBON Foundation, and Lilibeth Garcia, sister of Eugenia Baja. Baja was an OFW who worked as a domestic helper in the Kingdom of Saudi Arabia in May 2007 but mysteriously died in February 2008. The Saudi police and the Philippine Department of Foreign Affairs concluded that Baja's death was a suicide even as her body bore signs of beatings and of being starved for more than 20 days.

Rep. Ilagan deplored that fact that the policies of the Arroyo government as well as that of receiving countries do not protect the rights of migrant workers.

"Ang ating gobyerno ay hindi nireresolba ang mga problema ng ating mga migranteng manggagawa," (Our government does not resolve the problems confronting Filipino migrant workers.) Rep. Ilagan said. She criticized the Arroyo government for its failure to generate enough jobs in the country and for aiming, instead, to increase OFW deployments to two million a year.

"Tutulan natin ang labor export policy ng gobyerno," (Let us oppose the labor export policy of the government.) Rep. Ilagan said. She also took note of the sacrifices that families of OFWs go through and the social costs of labor migration.

Lilibet Garcia sister of Eugenia Baja said, "Sinabi po ninyo na ang mga OFW ay bagong bayani subalit sa pagkamatay ng aking kapatid nawala ang kanyang pangarap. (The government says that OFWs are modern-day heroes. But with the death of my sister, her dream of giving a better life to the family was also shattered.) My sister left weighing 47 kilos but when her body was returned to us she weighed only 32 kilos. Nananawagan po ako sa Arroyo government na imbestigahan ang pagkamatay ng aking kapatid." (We are calling on the Arroyo government to investigate the death of my sister.)

Connie Bargas-Regalado read the statement of the International Migrants' Alliance, an alliance of organizations of migrants and refugees across the globe, criticizing the Global Forum on Migration and Development. The Global Forum on Migration and Development is an "informal, voluntary, and state-led global forum", under the auspices of the United Nations, that tackles "how good migration governance can contribute to development and how development policies can impact on migration." The first meeting of the forum was held from July 9-11, 2007 in Brussels, Belgium.

Parts of the statement of the alliance read," The Global Forum on Migration and Development is not made for its supposed main stakeholders-the migrants themselves. Violations of rights of migrants are rampant. Attacks on the rights of migrants, immigrants, refugees and other displaced people are happening everywhere, everyday. Ironically, the violators of the rights of migrants, through grave anti migrant policies, are the same countries in the Global Forum on Migration and Development."

"The presence of the International Migrants' Alliance in all global regions will pose the most formidable challenge to the Global Forum on Migration and Development. We, being the grassroots migrants who are at the receiving end of numerous anti-migrant attacks, are the living proofs of the Global Forum on Migration and Development's anti migrant agenda and direction."

Regalado added, "The campaign against the Global Forum on Migration and Development will culminate in an International Assembly of Migrants and Refugees from October 28-30, 2008. The theme of the assembly would be 'Migrants' Challenges to the Global Forum on Migration and Development: End poverty, ensure jobs at home, stop forced migration, uphold and protect the rights of migrants and refugees.'"

"The International Assembly of Migrants and Refugees will be the genuine assembly for migrants where real and concrete issues shall be discussed. The International Assembly for Migrants and Refugees will speak for the grassroots migrants," Regalado said.

"GMA said I care, Is this the care she was talking about:
I care, with the migrants having 29 victims in death row;
I care, with the migrants having more than ten thousand stranded OFWs;
I care, with the migrants having 23 mysterious deaths;
I care, with the migrants having so many charges from their remittances," Regalado concluded. Bulatlat


“Ten days that will shake the GFMD” campaign

Grassroots migrants prepare to confront inter-government-led confab on migration and development

For grassroots migrants, the Global Forum on Migration and Development (GFMD) is a process that shall intensify the labor export industry, aggravate the conditions in many backward and poor countries, and perpetuate forced migration of people. Its adherence to the framework of neoliberal globalization of the monopoly-capitalists shall make it so.

The 10 days leading to the GFMD, from October 19 to 29, shall be marked by the strongest opposition mounted by grassroots migrants all over the world. For 10 days, we shall shake the GFMD down to its core agenda.

The second GFMD is convened amidst the worsening crisis of the world’s capitalist countries that aggravates the condition of poverty and underdevelopment in the world. The promises of globalization have failed and instead of creating a better economy for everyone, it has greatly increased the disparity between superpower and poor economies and has plunged the globe into crisis and war.

Now, prodded by the world’s leading powers, many countries are jumping into the bandwagon of utilizing migration for development. While the GFMD nominally declares its non-adherence to such a policy, migration remains to be one of the main, if not the major, source of income that prop up sinking economies while also providing the needed cheap labor to work in factories, agriculture and service sector of the more advanced ones.

Combined remittance of migrants around the world total US$2.26 trillion dollars and such a huge amount is irresistible for monopoly capitalist banks as well as international financial institutions that are anxious for debt-ridden economies to pay off their loans.

The GFMD is not made for its supposed main stakeholders – the migrants themselves. What it aims to do is to cover up the devastating impacts of neoliberal globalization, address the crisis of monopoly-capitalist themselves and further constrict the severely limited “development aid” powerful countries and IFIs such as the International Monetary Fund and the World Bank give to underdeveloped countries.

For the GFMD to talk about the rights of migrants is devoid of sincerity and full of hypocrisy.

Violations of rights of migrants are rampant. To name a few: the arrest and threat of deportation of Chilean activist and political asylum seeker Victor Toro of the May 1st Coalition for Immigrant and Workers Rights in the United States; the torture, abuse and deportation of Bangladeshi workers from Malaysia; deportation of 1,000 Bangladeshi workers who went on strike due to non-payment of wage and other worker’s rights violations in Kuwait; the criminalization and violent crackdown of undocumented migrants in South Korea; labour rights violations against foreign workers in Canada; the unified contract in the Kingdom of Saudi Arabia; the sponsorship system in the rest of the Middle East countries that is reminiscent of slave-buying; the proposed policy on undocumented migrants by the European Union that shall impose stiff penalties, detain, and blacklist arrested migrants, and; the continuing wage cuts, levy and discrimination against foreign domestic workers in Hong Kong.

Attacks to the rights of migrants, immigrants, refugees and other displaced people are happening everywhere, everyday. Ironically, the violators of the rights of migrants – through grave anti-migrant policies – are the same countries in the GFMD.

As the forum is to be held in Manila, it is evident that the GFMD holds in high-esteem the Philippine government’s system of labor export. To make the country a model of migration is short of scandalous given the Philippine government’s worse than poor record in upholding the rights of its overseas nationals.

Grassroots migrants shall let our stand be known and our voices heard during the GFMD.

We, who work in foreign households, labour in agricultural lands, sweat in factories and work in restaurants and other similar fields, will not stand aside as states discuss our future. Under their hands, there is nothing there for us but further exploitation and intensified commodification.

The International Migrants Alliance or IMA – formed and run by grassroots migrants – will be there to face the GFMD. Spanning the global regions of Asia-Pacific, Oceania, North America, Latin America and Africa, the 112-member organizations of the IMA effectively cover hundreds of thousands of grassroots migrants.

For years, many have spoken on our behalf. This time, we shall speak for ourselves and the GFMD is the most opportune period for us to speak out.

The “10 Days to Shake the GFMD” campaign will feature dramatic actions from different countries that will highlight the migrant’s national and international concerns. Such actions will complement the efforts of migrants and their families in the Philippines to bring out the migrant’s agenda to the GFMD.

IMA’s presence in all global regions will pose the most formidable challenge to the GFMD. We, being the grassroots migrants who are at the receiving end of numerous anti-migrant attacks, are the living proofs of the GFMD’s anti-migrant agenda and direction

This campaign shall culminate in the International Assembly on Migrants and Refugees (IAMR) on October 28 to 30. With the theme "Migrants' Challenge to the GFMD: End poverty, ensure jobs at home, stop forced migration! Uphold and Protect the rights of Migrants and Refugees!” the IAMR will be the genuine assembly of migrants where the real and concrete issues shall be discussed. The IAMR speaks for the grassroots migrants.

Our future is bleak and our rights are at stake in the GFMD. We vow to confront it with the power of the unified stand of grassroots migrants.#

Source: Press Statement International Migrant Alliance. August 17, 2008
Reference: Eni Lestari (Chairperson) -- Tel. No.: (852) 96081475


Jumat, 15 Agustus 2008

KJRI Hanya mau Layani Agensi

BMI menuntut kontrak mandiri dan proses pembaruan kontrak yang lebih sederhana

"KJRI lebih suka memihak agensi perekrutan, anti buruh migran!"

Hal ini dikemukakan Eni Lestari, juru bicara Persatuan BMI tolak Overcharging (PILAR), sebagai sikap bersama atas keputusan konsulat yang mewajibkan setiap BMI untuk memproses pembaruan kontrak melalui agensi.

Kemarin, KJRI mengumumkan keputusan ini dalam sebuah pertemuan dengan Asosiasi Penempatan Pekerja Indonesia di Hongkong (APPIH) dan dalam sebuah konferensi pers dengan media Indonesia di Hong Kong. Minggu lalu, PILAR mengirimkan sebuah pernyataan kepada KJRI untuk meminta klarifikasi atas proses pembaruan kontrak dan sekaligus menuntut kontrak mandiri dan penyederhanaan proses pembaruan kontrak.

"KJRI telah mengambil posisi berlawanan dengan buruh migran dan menihilkan tuntutan dari BMI untuk menuntut pembaruan kontrak secara mandiri, yang sederhana, dan dengan biaya yang lebih ringan," tambah Enny.

Hari minggu lalu, 10 Agustus 2008, ratusan BMI dari 27 organisasi migran melakukan aksi protes di depan KJRI untuk menyampaikan tuntutan dan kritik atas ketentuan KJRI dalam merespon tuntutan rakyatnya yang kini berdiam di Hong Kong.

"Bahkan sebelum masalah ini mengemuka, BMI telah sangat dieksploitasi oleh agensi dan telah melobi untuk menuntut proses kontrak mandiri untuk menghindari diri dari penghisapan agensi. Dengan posisi ini, secara praktis KJRI melemparkan kami untuk menjadi makanan Srigala," tambah Enny.

PILAR telah mendokumentasikan banyak kasus terkait dengan penindasan dan biaya berlebih yang dibebankan agensi di Hong Kong dalam hal pengurusan pembaruan kontrak.

Menurut Lestari, PILAR telah mendapatkan laporan bahwa BMI kerap diminta biaya tambahan oleh sebagai agensi dengan losaran antara HK$348-HK$3000 bahkan lebih untuk mengurus pembaruan kontrak kerjanya. Sementara pada yang sama, majikan mereka juga dimintai bayaran sekitar HK$1500 lebih.

"Mengapa KJRI menghambat kebebasan BMI dalam pengurusan kontrak mandiri padahal itu bisa mengurangi beban kami? Pemerintah seperti apa yang menyorong rakyatnya pada bahaya," tandas Enny.

PILAR juga menemukan jaminan yang menggelikan yang diterapkan KJRI yang menyatakan bahwa mereka telah meminta agensi di Hong Kong untuk tidak memungut biaya tambahan dari BMI.

"KJRI ini tekenal karena ketulian dan kebutaannya dalam menyikami masalah-masalah BMI. Tidak hanya kerap mengabaikan tuntutan-tuntutan mendesak, bahkan lebih buruh situasi yang kami alami dengan memaksa kami untuk menempuh proses agensi untuk pembaruan kontrak. Jelas, jaminan itu hanya isapan jempol saja," tegas Enny.

PILAR telah memulai mengawasi dan mengumpulkan kasus-kasus yang terdampak akibat kebijakan ini. Kelompok ini juga merencanakan untuk mengorganisasikan konferensi pers Minggu, 17 Agustus 2008, untuk juga menghadirkan BMI yang telah menjadi korban akibat sistem ini.

"KJRI harus menghadapi kemarahan BMI. Inilah saatnya mereka menghadapi kami dan bekerja untuk mengatasi masalah-masalah kami," simpul Enny.#


Kamis, 14 Agustus 2008

Consulate serves only the interest of agencies!

Indonesian migrants demand direct and simpler processing for advanced renewal

"The Indonesian Consulate is pro-recruitment agency, anti-migrant worker."

This was declared by Eni Lestari, spokesperson of the United Indonesians Against Overcharging (PILAR), as the group condemned the Indonesian Consulate's decision to implement mandatory processing for Indonesian domestic workers' contracts through agency for advanced renewal.

Yesterday, the Indonesian Consulate announced this decision in a meeting with the Association of Employment Agency in Hong Kong (APPIH) and in a briefing with the Indonesian media in Hong Kong. Last week, PILAR submitted a letter to the consulate to seek clarification on the process of advanced renewal and also ask for simple and direct processing of the contracts.

"The Indonesian Consulate has taken its position against the Indonesian migrant workers despite the overwhelming concerns of Indonesian migrant workers to make the advanced renewal process more direct, simpler and less burdensome". Lestari tagged.

Last Sunday, August 10, hundreds of Indonesian migrants from around 27 Indonesian migrant organizations held a rally in front of the Indonesian Consulate to forward the said demand as well as criticize the inaction of Consulate in responding to this urgent concern of its own people in Hong Kong.

"Even before this matter arose, the Indonesian migrant workers have been gravely exploited by the agencies and have lobbied for direct processing to save them from the clutches of recruitment agencies. With this position, the Consulate practically fed us to the wolves" Eni added.

PILAR has documented cases of Indonesian migrant workers exploited and overcharged by the agency in Hong Kong for processing their advance contract renewal.

According to Lestari, PILAR has gathered reports of Indonesian migrant workers being asked to extra for agency fee ranging between HK$348 to HK$3,000 to the agency or even more for the process of their advance contract renewal. While at the same time, the employers themselves have to pay the agency around HK$1,500 onwards.

"Why can't the Consulate impose discretion on this direct processing of renewal to relieve our burden? What kind of Government pushes its own people to danger" Lestari urged.

PILAR also found laughable the guarantee made by Indonesian Consulate that they had told the agencies in Hong Kong not to collect extra money from migrants.

"This consulate is notorious for playing deaf and blind to the problems of Indonesian migrants. Not only does it ignore our immediate concerns, it even worsens our situation by forcing us to go through agency for advanced renewal. Clearly this guarantee is just lips service," she added.

PILAR has started monitoring and gathering the cases of Indonesian migrant workers affected by this said policy. The group is also planning to organize a press conference this Sunday, 17 August 2008, to also present Indonesian migrants who have fallen victims to this system.

"The Consulate will face the wrath of the Indonesian migrants. It is high time for them to face us and work on our problems," she concluded.#


Selasa, 12 Agustus 2008

Polisi Harus Keluar dari Lahan Sengketa Agraria!

Jakarta, AGRA. Suasana Desa Karangsari, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut sangat mencekam. Sebagian warga memilih untuk tidak beraktifitas dan ada yang meninggalkan desa untuk menghindari intimidasi dari pihak Brimob Polda Jabar dan aparat kepolisian dari Polres Garut.

Sebagaimana disampaikan beberapa utusan petani Karangsari, beberapa hari terakhir pihak Brimob Polda Jabar dibantu aparat kepolisian dari Polres Garut melakukan penyisiran ke rumah-rumah warga mencari orang-orang yang dituduh sebagai provokator aksi petani menuntut lahan yang saat ini dikuasai PTPN VIII Condong, Pakenjeng Garut.

Menurut Sekretaris Jenderal AGRA, Erpan Faryadi, tindakan ini menyebabkan upaya penyelesaian sengketa agraria antara petani warga desa Karangsari dengan PTPN VIII tidak bisa berlangsung secara kondusif. “Intimidasi yang dilakukan pihak kepolisian menyebabkan warga tidak berani menyampaikan tuntutan-tuntutannya secara leluasa,” jelas Erpan Faryadi.

Oleh karenanya, Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), sebagai organisasi massa tani yang militan dan demokratis, mengecam tindakan pihak kepolisian dan menuntut agar kepolisian segera menarik pasukannya dari Desa Karangsari, Pakenjeng, Kabupaten Garut. Tuntutan ini tidak hanya untuk kasus yang menimpa warga desa Karangsari, Kabupaten Garut, melainkan untuk semua kasus sengketa agraria, khususnya yang melibatkan kaum tani dengan pihak-pihak seperti perkebunan, kehutanan, dan instansi militer di seluruh Indonesia.

SKB BPN-Polri Melanggar HAM
Desakan untuk menghentikan pelibatan aparatur kekerasan negara, seperti kepolisian dan TNI dalam kasus-kasus sengketa agraria sebenarnya sudah cukup lama disuarakan. Aktivis-aktivis petani kerap mempersoalkan keterlibatan kepolisian dan TNI karena tidak pernah bisa menyebabkan tercapainya penyelesaian secara berarti. Bahkan tidak sedikit, keterlibatan TNI dan Polri justru menambah berat bobot permasalahan yang dihadapi.

Namun, desakan ini tidak ditanggapi pemerintah. Bahkan, sejak tahun lalu, tepatnya 24 Juli 2007, Pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) justru melegalkan pelibatan Polri dalam penyelesaian masalah sengketa agraria. Legitimasi itu tertuang dalam Surat Keputusan Bersama No. 3/SKB/BPN/2007 yang ditandatangani Kepala BPN Joyowinoto dan Surat Keputusan Panglima Polri No. Pol. B/576/III/2007 yang ditandatangani Jenderal Polisi Sutanto.

Tindak lanjut dari SKB ini adalah dibentuknya Tim Ad-Hoc Sengketa Tanah yang bertugas untuk memilah-milah mana sengketa tanah yang termasuk tindak perdata atau pidana. Surat keputusan bersama inilah yang memberikan legitimasi terhadap berbagai aksi kekerasan, berupa penangkapan, penganiayaan, dan perampasan tanah petani.

Menurut Erpan Faryadi, SKB ini sangat tidak berdasar sebab masalah sengketa agraria di Indonesia saat ini sebenarnya bukan semata urusan perdata atau pidana, melainkan masalah politik. “Sengketa Agraria di Indonesia sebenarnya disebabkan oleh adanya monopoli lahan secara luas perkebunan-perkebunan besar, pemegang konsesi hutan atau HPH, serta perusahaan-perusahaan tambang raksasa yang mempersempit lahan produksi petani,” tegas Erpan.

Tindakan mengambil lahan yang dikuasai perkebunan, kehutanan, atau pertambangan adalah bentuk dari pertahanan diri petani kecil menghadapi agresi perusahaan-perusahaan besar yang memonopoli sumber-sumber agraria, lanjutnya. “Dengan karakteristik umum petani Indonesia yang mayoritas adalah produsen pangan skala kecil, maka kecil kemungkinan petani bisa memonopoli lahan yang bisa menyebabkan ketimpangan agraria dan melahirkan berbagai bentuk konflik sosial”.

Oleh karenanya, menurut Erpan Faryadi, yang mesti dilakukan pemerintah SBY-JK, adalah menertibkan kepemilikan dan penguasaan lahan dengan menetapkan pembatasan luas lahan yang bisa dikelola perusahaan-perusahaan perkebunan, kehutanan, dan pertambangan, agar tidak sampai menyebabkan adanya monopoli dan melahirkan konflik sosial di masyarakat.***


Hentikan Penggusuran! Laksanakan Land Reform Sejati!

Jakarta, AGRA—Kaum tani yang berhimpun dalam Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), serikat tani militant dan demokratis, menuntut pemerintah SBY untuk menghentikan berbagai upaya yang bisa mengarah pada penggusuran lahan milik rakyat. AGRA juga menuntut agar seluruh rencana penyusunan undang-undang maupun rancangan undang-undang yang bisa melegitimasi penggusuran tanah rakyat harus segera dihentikan.

Erpan Faryadi, Sekretaris Jenderal Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), menyatakan bahwa penguasaan tanah secara monopoli, baik oleh perusahaan-perusahaan perkebunan, kehutanan, maupun pertambangan, sesungguhnya tidak akan menjamin kelangsungan produksi melainkan hanya akan menjadi obyek spekulasi dan kian memperburuk krisis ekonomi.

Pernyataan ini disampaikan Erpan Faryadi menanggapi adanya ekspansi besar-besaran perkebunan kelapa sawit dan berbagai upaya deregulasi kebijakan pemerintah yang intinya mempermudah perolehan konsesi lahan yang kerap berujung pada penggusuran lahan petani dan melahirkan berbagai bentuk konflik sosial.

Erpan Faryadi menjelaskan bahwa motivasi penguasaan tanah secara monopoli di era krisis overproduksi seperti saat ini sesungguhnya bukanlah untuk mempertinggi produktivitas ekonomi. Sebaliknya, justru untuk menghancurkan pertumbuhan produksi ekonomi. Karenanya, pikiran pemerintah SBY yang hendak mempermudah upaya konsolidasi lahan untuk kepentingan infrastruktur seperti jalan, pertambangan, perkebunan, dan lain-lain, yang dikatakan demi menarik investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi, sesungguhnya pikiran yang salah.

Untuk memperjelas pemaparannya, Erpan Faryadi mengemukakan beberapa contoh. Ekspansi besar perkebunan kelapa sawit yang menyebabkan Indonesia menjadi negara produsen CPO (crude palm oil) terbesar di dunia ternyata tidak serta merta menyebabkan Indonesia terbebas dari krisis pangan, khususnya minyak goreng. Harga minyak goreng justru melambung pada saat Indonesia mampu melampaui posisi Malaysia dalam hal produksi CPO.

Contoh lain adalah diberikannya konsesi lahan pertambangan minyak di Cepu kepada perusahaan raksasa minyak ExxonMobil ternyata tidak mampu mendongkrak produksi minyak Indonesia yang hingga tahun ini masih berada dibawah tingkat konsumsi. Akibatnya, hingga saat ini Indonesia masih harus mengimpor minyak dan ketika harga minyak melambung tinggi, pemerintah kelabakan dan memaksa rakyat untuk membeli BBM dengan harga yang lebih mahal.

Kedua fakta diatas jelas mengecewakan rakyat. Iming-iming hidup lebih baik sebagaimana dijanjikan SBY-JK tidak terwujud. Logika yang menyatakan bahwa investasi asing akan memberikan nilai tambah pada tanah ternyata tidak pernah terbukti. Sebaliknya, investasi asing ternyata memperburuk nilai tanah, karena jumlah penerima manfaat semakin kecil dan keuntungan yang diperoleh atas tanah tersebut semakin terkonsentrasi di tangan segelintir.

“Padahal rakyat sudah banyak berkorban. Lahan-lahan garapan pertanian rakyat telah banyak digusur demi pembangunan perkebunan-perkebunan kelapa sawit atau pertambangan minyak skala besar seperti di Cepu,” tegas Erpan. “Bila kerugian-kerugian rakyat ini ditambah dengan beban-beban sosial yang timbul akibat penggusuran, secara umum, investasi asing untuk proyek-proyek infrastruktur besar justru lebih banyak merugikan rakyat Indonesia.

Land-reform pro-pasar
Erpan menjelaskan, hal ini merupakan agenda lama yang didesakkan negara-negara maju dan perusahaan-perusahaan kapitalis-monopoli transnasional melalui beberapa proyek reformasi pertanahan yang didanai Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB). Proyek ini dikenal dengan Land Administration Project (LAP) yang dilaksanakan BPN dengan dana Bank Dunia sejak dekade 1990-an dan secara esensial masih tetap dilanjutkan sampai saat ini.

Proyek ini ditujukan untuk menyusun database pertanahan yang memadai, sehingga bisa mendukung penciptaan pasar tanah yang ramah bagi kepentingan investasi. Di kalangan masyarakat, proyek ini dikenal dengan proyek sertifikasi lahan yang sebagian diberikan secara gratis kepada masyarakat. Implikasi dari proyek ini adalah menguatnya unsur kepemilikan individual atas tanah dan menghapuskan seluruh ikatan-ikatan sosial masyarakat dengan tanah.

Proyek ini menuai tantangan yang cukup besar, khususnya dari kalangan masyarakat adat dan suku bangsa minoritas karena secara langsung merusak tatanan hak milik komunal berdasarkan hukum ulayat atas tanah tempat tinggalnya. Akibat besarnya penolakan rakyat terhadap proyek administrasi pertanahan Bank Dunia kerap mengalami kebuntuan.

Tekanan akan pentingnya reformasi aturan pertanahan semakin kuat sejak SBY-JK mencanangkan berbagai proyek infrastruktur besar demi menarik investasi. Akan tetapi, sejak dicanangkan Januari 2005 lalu, realisasi investasi untuk proyek-proyek infrastruktur besar masih berada di bawah harapan pemerintah. Masalahnya tidak lain, selain karena sulitnya memperoleh akses atas tanah yang dibutuhkan.

Pemerintah sempat berupaya menerobos blokade rakyat dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 tahun 2005. Perpres itu memuat berbagai ketentuan yang intinya memudahkan akses pemerintah untuk melakukan penggusuran dan mengonsolidasi lahan untuk ‘kepentingan pembangunan’.

Hal yang sama juga dialami oleh UU Penanaman Modal yang baru disahkan tahun 2007 lalu. Aturan-aturan yang memudahkan penggusuran dan konsolidasi lahan rakyat mendapatkan kecaman dan perlawanan dari rakyat. Bahkan, mahkamah konstitusi memutuskan bahwa aturan tersebut bertentangan dengan UUD 1945. “Sekali lagi, perlawanan rakyat menyebabkan perpres 36 tahun 2005 itu mengalami kebangkrutan,” tegas Erpan.

Kini, proyek reformasi administrasi pertanahan ini dilaksanakan dalam bentuk penyusunan rancangan UU Pertanahan yang baru dengan sponsor Bank Pembangunan Asia (ADB) melalui perantaraan Badan Pertanahan Nasional (BPN). “Penyusunan RUU ini sendiri terkesan diam-diam. Hingga saat ini, pemerintah cenderung tidak berani melakukan konsultasi secara terbuka dengan rakyat. Pertanyaannya, mengapa harus diam-diam? Pasti ada yang disembunyikan!” tandas Erpan.

Aksi Nasional

Pada saat ini, petani-petani di Kulonprogo, Yogyakarta tengah berjuang menolak proyek pertambangan pasir besi yang akan mencaplok lahan garapan mereka. Demikian pula dengan petani-petani dari Jatigede, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Hingga kini, nasibnya masih belum jelas karena terancam akan digusur bila proyek pembangunan waduk Jatigede jadi dilaksanakan.

Selain itu, petani dari Kecamatan Pagak, Kabupaten Malang dan Rumpin, Kabupaten Bogor juga resah karena terkait dengan adanya upaya pembenahan administrasi atas aset-aset TNI, keberadaan mereka dan lahan-lahan garapannya bisa jadi terancam. Apalagi, lahan-lahan dibawah penguasaan TNI tersebut kabarnya akan diserahkan kepada pihak swasta untuk dikelola secara komersial.

Dari Garut dan Banyuwangi, sebagian petani yang menggarap lahan terlantar di areal HGU PTPN telah ditangkap kepolisian dan hendak dihadapkan kepada pengadilan. Sebagian lagi terpaksa menyingkir guna menghindari pengejaran dan intimidasi. Lahan garapan tempat mereka menggantungkan hidup telah dirampas. Intimidasi dan rangkaian kekerasan fisik dan psikologis kian memperburuk kehidupan mereka.

Di Sambas, Kalimantan Barat dan Labuhan Batu, Sumatera Utara, ekspansi perkebunan kelapa sawit memperuncing konflik antara kaum tani dengan perkebunan-perkebunan besar kelapa sawit. Selain dipaksa merelakan lahan garapannya dicaplok perusahaan-perusahaan perkebunan besar, kaum tani dan rakyat setempat juga dipaksa menelan dampak buruk akibat herbisida paraquat dan pencemaran air yang mengganggu kesehatannya. Beberapa pemimpin petani dari dua wilayah tersebut telah menjadi korban kekerasan dan penangkapan sewenang-wenang aparat kepolisian setempat.

Kejadian-kejadian tersebut adalah sebagian contoh dari masalah-masalah agraria yang nyata di Indonesia saat ini. Kasus-kasus ini akan semakin banyak apabila pemerintah tetap menjalankan liberalisasi dan deregulasi dalam kebijakan pertanahan. Kejadian-kejadian ini menuntut perhatian nasional dan penyelesaian segera secara damai.

Untuk itu semua, Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) mengumumkan akan melaksanakan aksi protes secara nasional yang puncaknya dilaksanakan di Jakarta, Kamis (14/8) yang akan datang. Aksi ini akan diikuti oleh ribuan petani dari berbagai wilayah di Indonesia menuntut dihentikannya berbagai tindakan kekerasan, kriminalisasi, dan penangkapan terhadap petani dan mendesak pemerintah SBY-JK untuk melaksanakan land-reform sejati di seluruh Indonesia.***


Minggu, 10 Agustus 2008

Pilar-HK: Cabut SK Dirjen Binapenta 186!


"Mengapa pemerintah Indonesia tidak pernah memikirkan kesejahteraan kita, setelah kita dipaksa untuk meninggalkan keluarga dan kampung halaman karena tidak adanya lapangan pekerjaan di Indonesia, kita juga masih diperas dengan biaya penempatan yang sangat mahal"

Statement tersebut dilontarkan Eni Lestari, koordinator PILAR, dihadapan sekitar 300 massa buruh migran Indonesia (BMI) yang menggelar aksi didepan kantor konsulat RI untuk Hong Kong, Minggu 10/08 2008.

Aksi yang digelar Persatuan BMI Tolak Overcharging (PILAR) ini, sebagai respon terhadap dikeluarkannya SK Dirjen Binapenta No. 186/2008 tentang biaya penempatan untuk BMI tujuan Hong, yaitu sebesar Rp. 15.550.000 plus US$15 pada tanggal 10 Juli 2008.

"BMI Hong Kong telah berkali-kali melakukan protes terhadap komponen biaya penempatan yang sangat memberatkan BMI, lebih jauh BMI juga telah menghitung, seharusnya biaya penempatan maksimum hanya satu bulan gaji atau sebesar Rp. 3.900.000, tapi kenapa hanya usulan PJTKI yang selalu di setujui pemerintah" tandas Eni.

Eni juga menambahkan "pemerintah tidak pernah besungguh-sungguh melindungi warganya yang menjadi BMI, dalam perundang-undangan sudah jelas diatur biaya penempatan harus diatur oleh Menteri, lantas kenapa Dirjen Binapenta mengeluarkan keputusan biaya penempatan yang bukan wewenangnya."

Selain persoalan biaya penempatan, aksi yang digelar PILAR ini juga ditujukan sebagai bentuk protes terhadap Konsulat RI di Hong Kong, yang tidak melakukan tindakan apapun disaat ratusan ribu BMI terancam di PHK akibat peraturan baru pemerintah Hong Kong.

Efektif mulai 1 Agustus 2008, pemerintah Hong Kong menghapuskan sementara pajak sebesar HK$400 perbulan terhadap majikan yang memperkerjakan pembantu rumah asing, namun penghapusan tersebut hanya berlaku bagi pembantu asing yang memiliki visa setelah 1 agustus 2008, akibat kebijakan tersebut, banyak majikan yang berbondong-bondong mem-PHK pembantunya dan mencari pembantu baru untuk dapat menikmati bebas pajak.

Namun setelah mendapatkan protes keras dari buruh migran, akhirnya pemerintah Hong Kong juga memberikan kelonggaran bagi pembantu asing yang ingin mempercepat pembaharuan kontrak, dengan tidak perlu keluar Hong Kong dan proses pembaharuan Visa kerja dapat dilakukan satu hari bila dokumen lengkap.

Namun, kelonggaran peraturan yang diberikan pemerintah Hong Kong, tidak ditanggapi seragam oleh konsulat RI di Hong Kong yang dipimpin oleh Ferry Adamhar, walaupun terdapat lebih dari 100.000 BMI yang akan memperbaharui visa kerja pada waktu yang relatif bersamaan, namun pemerintah Indonesia tidak mau perduli, mereka bahkan memberikan kesempatan kepada agensi untuk mengeruk keuntungan lebih besar, melalui jasa pembaharuan visa kerja, karena BMI tidak diperbolehkan oleh konsulat Indonesia untuk mengurus visa kerja secara mandiri.

"Sangat tidak masuk akal, bagi BMI yang ingin memperbaharui kontrak secara mandiri, BMI diwajibkan memenuhi 13 syarat yang sangat tidak masuk akal, namun bila BMI mengurus melalui agensi, 13 syarat tersebut menjadi hilang, ini bukti pemerintah memang senagaja membuat BMI sengsara, dan agen berpesta fora" ungkap Eni.

Eni menambahkan "Mengingat ratusan ribu BMI di Hong Kong terancam di-PHK, dan disaat yang sama agensi mulai menggunakan kesempatan ini untuk mengeruk keuntungan yang besar, KJRI harus segera melakukan tindakan yang nyata untuk melindungi BMI, BMI akan merasa terbantu bila KJRI bisa mengesahkan dokumen visa kerja BMI tanpa 13 syarat yang tidak masuk akal itu, dan juga perlindungan dari keserakahan agen."

Aksi PILAR ini juag mendapatkan solidaritas dari organisasi buruh migran Filipina dan Thailand.

"Bila perlindungan yang mendasar seperti itu saja tidak bisa di berikan oleh KJRI untuk warganya, buat apa ada KJRI, pulangkan saja Ferry Adamhar ke Indonesia" tegas Eni#



Senin, 04 Agustus 2008

ATKI Jakarta: Cabut SK Dirjen Binapenta No. 186 tahun 2008!

“SK Dirjen Binapenta No 186 tahun 2008 yang mengatur biaya penempatan BMI di Hongkong adalah keputusan yang Ilegal!” demikian tegas Koordinator Biro Informasi Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia-Jakarta, Retno P. Dewi.

Pernyataan ini disampaikan hari ini pada saat melakukan aksi bersama menuntut pencabutan SK Dirjen Binapenta No. 186 tahun 2008 di halaman Kantor Depnakertrans Jalan Gatot Subroto Jakarta dan akan dilanjutkan ke depan Kantor BNP2TKI, Jalan MT. Haryono, Cawang, Jakarta.

Dalam aksi tersebut, selain menuntut pencabutan SK, ATKI-Jakarta, Migrantcare, LBH Iwork, FMN, dan organ-organ lainnya juga menuntut penghentian deportasi dan legalisasi bagi seluruh BMI tidak berdokumen di Malaysia, pembubaran terminal IV, pencabutan UU No. 39 tentang PPTKILN, dan Ratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya.

SK Dirjen Binapenta, Ilegal!

“SK tersebut bertentangan dengan UU No. 39 tahun 2004 sekaligus Permenakertrans No tahun 2007 yang menyatakan bahwa instansi yang berwenang mengeluarkan kebijakan itu adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi!” lanjut Retno.

SK yang dimaksud adalah Surat Keputusan Direktorat Jenderal Binapenta No. 186 Tahun 2008 tentang komponen dan besarnya biaya Penempatan Calon Tenaga Kerja Indonesia Penata Laksana Rumah Tangga, Perawat Bayi, dan Perawat Orang Tua/ Jompo untuk tujuan Hongkong. Surat ini berisi jumlah biaya yang harus ditanggung oleh calon BMI/BMI yang hendak berangkat ke Hong Kong, sebesar Rp 15.550.000 plus USD 15.

Berdasarkan UU No 39 tahun 2004 tentang PPTKILN pasal 76 ayat (2) dan Permenakertrans No 18 tahun 2007, kewenangan penentuan biaya penempatan sesungguhnya berada di tangan menteri dan bukan dirjen. Sehingga, lahirnya kebijakan tentang biaya penempatan ini sungguh aneh karena tidak sesuai dengan aturan yang ada di atasnya.

Menurut Retno, adanya SK tersebut menunjukkan carut-marutnya penanganan perlindungan BMI oleh pemerintah RI. Sebagaimana diketahui publik, sebagian besar masalah BMI bermula dari ketidakbecusan pemerintah mengelola penempatan dan perlindungan BMI. Selama ini, BMI hanya dilihat sebagai barang-dagangan yang kerap diperlakukan tidak manusiawi. Kontribusi besar bagi pemasukkan Negara tidak diimbangi dengan perlindungan yang memadai dari Negara.

Terlebih ketika terjadi konflik terbuka antara Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno dengan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Konflik diantara keduanya sudah diketahui secara umum dan menunjukkan sikap kekanak-kanakan diantara dua pejabat negara yang berada dibawah Presiden. Hingga saat ini, tidak ada mediasi dari Presiden untuk adanya penyelesaian yang komprehensif diantara kedua pejabat tersebut.

“Presiden SBY hanya mempedulikan besarnya pendapatan dari BMI tanpa mau peduli dengan nasib BMI,” tegas Retno.

‘Sapi Perah’

Retno juga menyampaikan bahwa sepanjang tahun 2008 ini, kualitas perlindungan BMI masih belum ada perbaikan. Setoran BMI kepada pemerintah justru semakin besar. Catatan sementara mengenai jumlah pengiriman BMI ke Timur Tengah (sebesar 66 ribu BMI), Hongkong (17 ribu BMI), dan Malaysia (60 ribu), pemerintah telah memperoleh pemasukkan sebesar US$ 2.145.000 atau setara dengan Rp. 19.519..500. 000 (19,5 miliar rupiah).

Dana ini dihitung dari ketentuan yang mewajibkan BMI membayar US$ 15 per orang. Jumlah ini akan semakin besar apabila kita juga memasukkan beberapa komponen pemasukkan, seperti dari pembuatan paspor, kartu TKI, dan biaya yang disetorkan BMI pada saat mengurus kepulangan di terminal pendataan kepulangan BMI (Terminal IV).

Berdasarkan catatan Migrantcare, sepanjang Januari hingga April tahun ini, setidaknya terdapat 86 BMI yang meninggal dunia di berbagai negara penempatan. “Data tersebut berasal dari laporan media massa, pengaduan keluarga, dan beberapa upaya pendataan lain yang kami lakukan selama ini,” jelas Nurharsono dari Migrantcare.

Sementara catatan dari LBH Iwork untuk kasus yang sama lebih besar, menurut Direktur LBH Iwork Yuni Asri, dari Januari sampai Agustus 2008 ini terdapat setidaknya 104 kasus BMI yang meninggal dunia. “Kami sudah berhasil memverifikasi 64 kasus kematian BMI. Dalam arti, data tentang ke-64 kasus kematian sudah relatif jelas. Sementara 38 kasus lainnya masih dalam taraf pelengkapan data,” jelas Yuni Asri dari LBH Iwork.

Selain itu, ratusan ribu BMI Malaysia, Korea Selatan, dan Hongkong terancam deportasi akibat lemahnya daya tawar pemerintah Indonesia selaku negara pengirim ke negara-negara penerima. Belum lagi korupsi dan buruknya pelayanan kantor-kantor perwakilan (kedubes maupun KJRI) di berbagai negara penerima menambah beban bagi buruh-buruh migrant Indonesia.

“Singkatnya, pemerintah pimpinan SBY-JK menganggap BMI sebagai ‘sapi-perahan’, namun kami menolak terus-terusan dijadikan sapi-perahan. Karena itu kami akan melawan dan terus memprotes kebijakan-kebijakan yang sewenang-wenang,” tegas Retno.

Lihat pernyataan bersama disini

Jumat, 01 Agustus 2008

FDW campaign forces HK gov't to include ongoing contracts in levy suspension;

We view that the advanced contract renewal option is the concrete concession won by the foreign domestic workers (FDWs) in the campaign for the levy suspension for all contracts. We were able to force the Hong Kong government to accede to the demand to include ongoing contracts.

This is victory enough.
At the onset, the design of the levy suspension has never been for FDWs. When it was first announced, it was purely to appease employers and not a single interest of FDWs was even considered. Their pronouncement of a balancing act between the interests of employers and FDWs was empty and a sham.

The timely actions and massive participation of FDWs in the actions led by the AMCB, exposed the consequences of the original design of the suspension to the job security and rights of FDWs. It was only when FDWs depicted the sure open season of mass termination of contracts that the levy suspension would have created did the HK government start to even notice the grave impacts of their policy to the foreign employees.

The exposition of the flaws of the original design of the suspension even swayed public opinion as to its unjustness, discrimination, and cruelty to FDWs. It has shown to the HK people that, indeed, FDW rights and condition are the least of the HK government's priorities

The Hong Kong government's decision on the levy suspension shows that even they cannot deny the extreme unpopularity of this policy. If not for the vigilant and militant campaign by FDWs, the Hong Kong government would not have been pushed to revise their initial plan.

While the new scheme of levy suspension shall, in the end, also cover ongoing contracts, it has also created a complicated, inconvenient and burdensome process for FDWs. Additionally, it shall also force many to again pay for fees charged by consulates of labor-sending countries such as for authentication and verification of employment contracts and other incidental fees for contract renewal.

We still believe that the simplest and more effective way to implement the levy suspension is to have it outrightly cover all contracts and then just waive the remaining installments for those with ongoing levy payments. The advanced contract renewal can then be offered before July 31, 2010 in order for applicants to avail of the suspension for another two years.

This way, much of the confusion, the added bureaucratic procedure and the additional payments can be avoided.

Even with the current guidelines, we believe that there will still be FDWs who will be terminated now but shall not be renewed by the employer. In this situation, we call on the Immigration Department to exempt them from the Two-Week Rule so that they can be given enough time to process for another employer and they will also not be forced to go back home.

For consulates of labor-sending countries, they should not take advantage of this situation to collect more money. Fees charged to those who will avail of the advanced contract renewal process should be waived or discounted.

Finally, this is the best time to review policies that expose FDWs to much vulnerability.

The levy itself should be abolished. The Two-Week Rule that puts us in a situation open for abuse and exploitation must also be scrapped. More urgently, a significant wage increase must be granted that shall be the most concrete expression of relief that this government can give to FDWs.

The AMCB will not stop for us long as policies that trample on the rights of FDWs are in place. We shall always be watchful of any move that will make our condition worse given the HK government's proven disregard of the rights of migrant workers.

We call on to all migrant workers to continue to be vigilant in protecting and upholding our rights and wellbeing. Through our collective actions, we gained victory in the levy suspension. Through even stronger and bigger actions, we shall further advance our struggle for wage increase, services, employment protection and our fundamental rights as migrant workers.#

Kamis, 31 Juli 2008

Buruh migran memprotes keputusan pemerintah Hong Kong yang tidak memasukan kontrak yang masih berjalan dalam kebijakan penghentian pajak

“Dengan mengecualikan kontrak yang masih berjalan dalam kebijakan penghentian pajak, pemerintah Hong Kong sekali lagi menunjukan sikap tidak berperikemanusiaan bagi pembantu rumah tangga asing,” ini adalah sikap Asian Migrants Coordinating Body (AMCB) sebagai respon terhadap pengumuman pemerintah Hong Kong atas penghentian penarikan pajak yang mulai efektif sejak 1 agustus 2008, yang hanya diberlakukan bagi kotrak baru.

Dalam aksi piket yang digelar di Kantor Pusat Pemerintahan sebagai respon terhadap pengumuman tersebut, AMCB menyatakan kebijakan tersebut akan mengakibatkan terjadinya PHK besar-besaran, akibat majikan yang ingin menghindari membayar pajak bagi pembantu lama mereka




Juru bicara AMCB yang juga ketua ATKI Eni Lestari mengatakan “Dalam kerangka kebijakan baru ini, pemerintah Hong Kong tidak menunjukan niat untuk membantu buruh migran, malahan melalui kebijakan ini, pemerintah telah mengambil sikap untuk menolak membuat kondisi buruh migran lebih baik”



Eni juga menyesalkan respon pemerintah Hong Kong atas PHK yang mulai terjadi akibat penghentian pengenaan pajak yang selektif, menurut pemerintah, persoalan PHK akan diselesaikan melalui kebijaksanaan direktur imigrasi, yang akan mengizinkan “percepatan pembaharuan kontrak” sehingga para buruh migran tetap dapat menetap di Hong Kong selama proses kontraknya sedang diproses.


“Pemerintah Hong Kong sama sekali tidak memahami kondisi sebenarnya, dan lebih jauh mereka juga membuat buruh migran menjadi resah dan menambah rumit proses implementasi kebijakan baru ini” ungkap Eni “Pemerintah Hong Kong memiliki kebiasaan menempatkan buruh migran dalam posisi yang rumit. Melalui keputusan baru pemerintah Hong Kong ini, Buruh Migran ditempatkan pada situasi yang sangat tidak nyaman, membingungkan dan birokratis.”

Menurut Eni “percepatan pembaharuan kontrak” adalah proses yang tidak jelas, dan tidak memiliki tata cara yang jelas dan tentunya tida menjawab ketakutan buruh migrant

“Apakah kebijakan tersebut juga berlaku bagi katankanlah buruh migran yang baru bekerja satu bulan, dan apakah sekarang mereka dapat memperbaharui kontrak lagi? Apakah hal tersebut termasuk kategori PHK? Bila iya, apakah hal itu juga berarti walaupun kami dapat menetap di Hong Kong, namun kami tidak diperbolehkan bekerja ketika dokumen kami sedang diproses? Pemerintah bahkan sedang mempertimbangkan penerapan quota untuk menghadapi kemungkinan melonjaknya pengajuan kontrak baru. Bagaimana kami dapat hidup bila kami menunggu lebih dari satu bulan? Dan juga bagaiman dengan hak atas bonus long servis dan pesangon? Lontar eni

Eni menyatakan, dengan skema sepert ini hanya majikan yang menikmati penghentian pajak, dan juga agen perekrutan juga akan mendapatkan lebih banyak keuntungan dengan membludaknya pemohonan dan juga tentunya negara pengirim yang menetapkan beberapa biaya untuk proses pengajuan kontrak.

“Cara yang terbaik dan termudah untuk menyelesaikan persoalan ini adalah dengan menetapkan penghentian pajak tanpa kategori tertentu. Kenapa harus dibuat rumit? Pilihan solusi yang diberikan pemerintah bagi kontrak yang masih berjalan tidak tepat bila dikatakan sebagai pilihan bila mempertimbangkan persoalan yang muncul akibat kebijakan tersebut. Melalui cara pemerintah menerapkan kebijakan penghentian pajak, buruh migran lah yang pada akhirnya pihak yang paling dirugikan” tegas Eni

Eni juga menambahkan, akan lebih buruk bagi mereka yang tidak di kontrak kembali dengan majikan mereka, karena usulan pemerintah tidak menjamin majikan harus mengambil pekerja yang sama. Sedang bila mereka terpaksa mecari majikan baru, mereka diwajiban untuk keluar terlebih dahulu dari Hong Kong untuk menunggu Visa.

Hari minggu yang lalu, lebih dari 1000 buruh migran menggelar aksi di kantor pusat pemerintahan (CGO) menuntut penghentian pajak diberlakukan bagi semua – kontrak yang berjalan maupun baru –. Pengakuan juga diberikan oleh beberapa buruh migran yang mengalami dan PHK yang diancam akan di PHK dan juga pengakuan dari beberapa orang yang sedamg mengurus kontrak namun majikan mereka mencabut aplikasi yang sedang diproses.

“Kebijakan ini sangatlah tidak berperikemanusiaan dan menunjukan pemerintah Hong Kong diskriminatif dan tidak mempertimbangkan kepentingan buruh migran. Apakah Donald Tsang mau menghidupi keluarga para buruh migran bila mereka di PHK?” tandasnya

Eni mengatakan kebijakan ini hanya akan mengundang protes yang lebih besar dari Buruh migran. Eni menyatakan pada tanggal 17 Agustus, AMCB akan menggerakan buruh migran dengan jumlah yang lebih besar untuk menuntut penghentin pajak harus diberlakukan untuk semua.

“Kami akan melakukan monitoring terhadap kasus PHK sebagai akibat dari kebijakan baru ini. Kami akan menunjukan bagaimana buruh migran menjadi korban atas kebijakan yang tidak adil ini” ungkapnya

Eni juga mengundang para buru migran untuk bergabung dalam aksi ini, dan juga penduduk lokal untuk mendukung tuntutan AMCB ini.

Eni mengingatkan, tuntutan lama tentang penghapusan pajak dan kenaikan gaji yang signifikan bagi buruh migran. Eni menyatakan bahwa kelahiran pajak adalah penyebab dari pemotongan gaji secara drastic yang dialami buruh migran pada tahun 2003 dan menurutnya, “pengenaan pajak hanya akan menahan kenaikan gaji”

Eni juga mengatakan, AMCB juga menuntut dihapuskannya the New Condition of Stay atau Two-Week Rule yang selama ini membuat buruh migran dalam kondisi yang lemah.

“Usaha untuk merampas hak kami harus dihentikan, kami sudah begitu dilemahkan, hingga kami tidak lagi memiliki pilihan selain melawan” tutup Eni#


Senin, 28 Juli 2008

“No exclusion on suspension”

Thousands of foreign maids rally for blanket coverage of levy suspension
“All of the 230,000 foreign domestic workers are affected by the levy now. There should be no exclusion on suspension.”


This was declared today by Eni Lestari, spokesperson of the Asian Migrants Coordinating Body or AMCB as more than a thousand foreign helpers marched from Chater Road to the Central Government office to reiterate their demand for the levy suspension to cover all contracts – ongoing and the new ones.

“We are highly-concerned of our job security and such worry is justified. Employers who want to immediately avail of the suspension have already expressed intention of terminating ongoing contracts and only the fact that no final decision has been taken by the HK government stops them from pushing it through. There is no just cause for this exclusion,” she added.

Lestari also hit the Hong Kong government for dilly-dallying on its final decision as to the design of the suspension plan. Early this week, the AMCB made a submission to the HK Executive Council calling for the suspension of the levy for all FDW contracts.

“The lack of response from the HK government on the danger of massive termination it is set to open is killing us. Labour and welfare secretary Matthew Cheung’s recommendation of an August 1 implementation only increases our fear of losing our jobs soon,” she remarked,

Lestari reported that already, employers have withdrawn applications for new employees or have deferred the issuance of visas for new helpers.

“Our fellow workers are already facing uncertainties to their employment. Levy suspension that does not cover all now is a disaster waiting to happen. And the disaster is on us foreign helpers,” she stated.

The group said that they will sustain their protest actions until their demand of a suspension for all is met. Lestari relayed that they are also seeking the support of local organizations, legislators, and trade unions in their campaign.

“We will accept no less than a blanket suspension of the levy for it is our livelihood and rights that are at stake,” she concluded.#



Selasa, 22 Juli 2008

“Exclusion of existing contracts threatens our job security”

Foreign maids to rally thousands for blanket coverage and immediate levy suspension

“Suspension of levy for new contracts alone poses a clear and present danger to the 220,000 ongoing contracts. This government is endangering our jobs and will surely lead to mass termination of FDWs.”

This was declared today by Eni Lestari, spokesperson of the Asian Migrants Coordinating Body or AMCB as more than 50 of their members gathered at the Central Government Office to demand from the Executive Council to make the levy suspension it announced to cover all foreign domestic workers – those with ongoing contracts and the new ones.

“When the levy was implemented in 2003, our wage suffered. As how the suspension stands now, it puts our job at stake. When will the HK government make our rights and wellbeing part of its priorities?” she added.

Lestari said that to have the levy suspension cover new contracts alone will result to an “open season of termination” as, she believed, employers will surely opt to get new contracts to save money.

According to Lestari, after the HK government announced the two-year suspension of the levy, they have gathered information from fellow workers who have ongoing contracts that their employers are threatening them of termination. Reports from member organizations of AMCB showed that there are employers who are now considering an early termination of their employee’s contract and just promising the FDWs that they will be rehired as soon as the suspension takes effect.

Meanwhile, those whose contracts are up for renewal soon and those who are already processing new contracts said that their employers are having second thoughts of hiring them now and are thinking of waiting for the levy suspension to take effect first before doing so.

Lestari hit Labour Secretary Matthew Cheung for disregarding the impacts to FDWs of the current design of levy suspension. Cheung said that the government will ensure the benefit and convenience of employers in their decision-making.

“How about us? Shouldn’t a labour official, first and foremost, consider the workers themselves? There was even no attempt by the HK government to get the views of the FDWs on this matter. It is highly-inconsistent of a government who just recently passed Racial Discrimination Ordinance to disregard one of the biggest sector of ethnic minorities in HK,” she lamented.

The AMCB spokeswoman said that their member organizations composed of Filipino, Indonesian, Thai, Nepalese and Sri Lankan groups are already gearing for actions to advance their call for blanket coverage and immediate suspension of the levy.

“The forums and discussions we held last Sunday with migrant workers have shown the indignation of FDWs against the HK government for putting our jobs in jeopardy. The urgency to put pressure is there and this selective and delayed suspension shall be put to shame by thousands of us who will march and protest,” she reported.

Lestari also called on to employers, particularly the middle income ones, to also speak out against the delay of the suspension.

“Since its introduction, the levy has been met with popular resistance. We demand its suspension for all now and we shall not stop until it is finally abolished,” Lestari concluded.#


Surat Keputusan Dirjen Binapenta No. 186 tahun 2008 tentang Biaya Penempatan BMI tujuan Hong Kong adalah pro PJTKI/PJTKA dan anti BMI

Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia, pada tanggal 10 Juli 2008, menetapkan surat keputusan nomor 186/2008 tentang Komponen dan Besarnya Biaya Penempatan Calon Tenaga Kerja Indonesia Penata Laksana Rumah Tangga, Perawat Bayi, dan Perawat Orang Tua/Jompo Untuk Negara Tujuan Hong Kong.

Dalam surat keputusan tersebut, Pemerintah Indonesia memangkas biaya penempatan BMI tujuan Hong Kong dari Rp. 17.845.000 (prakteknya menjadi Rp. 25 Juta) menjadi Rp. 15.550.000 plus USD 15.

Surat Keputusan ini adalah surat keputusan ketiga yang dibuat pemerintah Indonesia melaui dirjen BINAPENTA tentang biaya penempatan bagi BMI tujuan Hong Kong sejak tahun 1999, yaitu SK No. B.603/1999 yang menetapkan biaya sebesar Rp 17.845.000, SK No. Kep.653/2004 yang menetapkan biaya sebesar Rp. 9.132.000, dan yang terakhir adalah SK No. 186/2008 yang menetapkan biaya penempatan sebesar Rp 15.550.000 plus USD 15

Pemerintah Indonesia Tidak memiliki Komitmen Politik Untuk Melindung BMI
Dikeluarkannya tiga surat keputusan tentang Biaya penempatan tersebut, menunjukan seolah-olah pemerintah Indonesia memperhatikan dan melindungi nasib dan kesejahteraan warga negaranya yang terpaksa menjadi pembantu rumah tangga di negeri orang. Namun kenyataannya, dikeluarkannya surat keputusan tersebut tidak lebih dari upaya meredam protes-protes yang dilakukan oleh BMI terutama di Hong Kong, tentang mahalnya biaya penempatan atau Overcharging yang semakin hari semakin membesar dan meluas.

Selain itu, dikeluarkannya beberapa Surat keputusan tentang biaya penempatan, membuktikan bahwa pemerintah Indonesia yang dipimpin rejim penjual rakyat SBY-Kalla ini, bahkan mengakui dan tidak lagi bisa berkelit bahwasanya BMI mengalami Overcharging atau exploitasi melalui biaya penempatan yang sangat mahal.

Namun, kepentingan pemerintah Indonesia untuk semakin menyempurnakan ekspor tenaga kerja melalui peningkatan drastis pengiriman BMI dan memaksimalkan potensi devisa negara melalui uang kiriman BMI, tidak bisa lagi ditutupi dari setiap kebijakan yang mereka buat.

Faktanya, walaupun pemerintah Indonesia telah menurunkan biaya penempatan bagi BMI tujuan Hong Kong melalui SK No. Kep.653 tahun 2004 yang memangkas biaya penempatan dari Rp. 17.845.000 menjadi Rp. 9.132.000, namun BMI tidak pernah merasakan perubahan tersebut, kenyataannya BMI di Hong Kong masih diwajibkan membayar biaya penempatan versi tahun 1999 sebesar Rp. 17.845.000 dan bahkan dengan alasan melibatkan perusahaan keuangan, biaya tersebut membengkak menjadi HK$21.000 atau sebesar Rp 25 Juta, yang dipungut melalui potongan 5-7 bulan gaji BMI hingga kini.

Sejak diterbitkannya SK tentang biaya penempatan bagi BMI di Hong Kong versi tahun 2004, yaitu sebesar Rp. 9.132.000, pemerintah Indonesia tidak pernah berupaya untuk merealisasikan keputusannya tersebut, mereka membiarkan PJTKI dan PJTKA melanggar SK tersebut, dengan tetap memaksa BMI membayar biaya penempatan versi tahun 1999.

Namun, setelah protes yang dilancarkan BMI meningkat dan membesar, pemerintah Indonesia kembali mengeluarkan SK tentang biaya penempatan yang di tetapkan pada tanggal 10 Juli 2008, tanpa mampu menjelaskan tentang nasib SK tentang biaya penempatan yang mereka keluarkan pada tahun 2004 yang hingga kini tanpa realisasi.

Pemerintahan SBY-Kalla Anti kesejahteraan BMI
Selain persoalan tentang realisasi beberapa surat keputusan tentang penurunan biaya penempatan, juga terdapat persoalan besar didalam surat keputusan yang telah dikeluarkan pemerintah Indonesia.

Pada SK yang dikeluarkan pada tahun 1999, pemerintah memasukan beberapa kompenen biaya yang sangat tidak masuk akal, seperti biaya pemasaran, biaya pembuatan video, dan juga biaya pelatihan yang sangat mahal, sehingga kemudian biaya penempatan menjadi sebesar Rp. 17.845.000 ditambah dengan biaya komisi jasa keuangan seluruhnya kemudian menjadi Rp 25.000.000 uang yang terpaksa harus di bayar BMI, hanya karena miskin dan tidak dapat kesempatan berproduksi di Indonesia.

Sedangkan pada SK yang dikeluarkan pada tahun 2004, walaupun terlihat mengalami penurunan yang sangat drastis menjadi Rp. 9.132.000, namun belum terlihat upaya pemerintah untuk melindungi BMI, fakta ini terlihat dalam komponen yang harus dibayarkan BMI, pemerintah memasukan biaya tiket pesawat, pengurusan paspor, tes kesehatan dalam komponen biaya yang harus di bayar BMI kepada agency, yang jelas-jelas sudah diatur dalam kontrak kerja di Hong Kong, dan semua itu harus ditanggung majikan.

Dan pada SK yang ditetapkan 10 juli 2008 ini, biaya penempatan kembali melonjak secara drastis menjadi Rp. 15.550.000 plus USD15, dari jumlah tersebut, BMI harus menanggung biaya pelatihan dan sarananya sebesar Rp 11.200.000 diluar biaya jasa perusahaan sebesar Rp. 3.740.000 sehingga total biaya agency menjadi Rp. 14.940.000, fakta ini menunjukan, bila pemerintah mau melindungi BMI dengan menghilangkan beban biaya pelatihan, maka BMI hanya akan terbebani oleh biaya penempatan sebesar satu bulan gaji, dan itulah yang menjadi tuntutan BMI Hong Kong saat ini.

Dari seluruh kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia tentang biaya penempatan BMI, BMI selalu menjadi pihak yang paling dirugikan disaat pihak PJTKI dan PJTKA mendapatkan perlindungan untuk meraup sebanyak-banyaknya keuntungan dari proses ekspor tenaga kerja ini.

Untuk itulah, menyikapi ditetapkannya SK No. 186/2008 tentang Komponen Biaya Penempatan Calon Tenaga Kerja Indonesia Penata Laksana Rumah Tangga, Perawat Bayi, dan Perawat Orang Tua/Jompo untuk negara tujuan Hong Kong, kami, Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia di Hong Kong (ATKI-HK) bersikap

1. Bebaskan BMI dari biaya pelatihan
2. Berikan BMI hak melakukan Kontrak Mandiri (direct Hiring)
3. Tetapkan Biaya penempatan maksimal sebesar 1 bulan gaji



Hong Kong, 22 Juli 2008


Eni Lestari Andayani
Ketua ATKI-HK



Senin, 14 Juli 2008

“We deserve more than crumbs”

Foreign maids express discontent over HK$100 hike

We waited for a very, very long time and still we get mere crumbs. This is insulting, most unjust and we definitely do not deserve this.

This was expressed today by Eni Lestari, spokesperson of the Asian Migrants Coordinating Body (AMCB) and chairperson of the newly-founded International Migrants Alliance (IMA), following the Hong Kong government’s announcement of a HK$100 hike in the monthly minimum allowable wage for foreign domestic workers.

“The HK government lied when it said that the MAW adjustment is based on the economic and employment situation in HK and its tired-old basket of economic indicators. All indication, especially the HK$100-billion budget surplus, points to a more significant wage hike. This is definitely not what we expect after all the showers of benefits that were given to businesses and other sectors,” she remarked.

In its submission for a wage hike early this year, the AMCB decried the piecemeal wage increases that have been implemented in recent years. They reiterated the economic boom of HK as enough reason for a substantial wage hike to FDWs.

According to Lestari, the 3% increase only brings the annual wage of FDWs in HK to HK$42,960.

“This is still very, very low as compared to other countries with similar economic standards like HK such as the United Kingdom with HK$ 58,750 a year and an estimated HK$ 110,424 in Spain,” she reported

The group, composed mainly of FDWs from the Philippines, Indonesia, Thailand, Nepal and Sri Lanka, also lamented the delay in the results of the MAW review. Lestari reported that everyday, a minimum 400 Filipinos process their contracts and it is almost the same for Indonesians.

“Because of the delay in the announcement that in the past has been done before June, tens of thousands of FDWs have already been denied of any improvement in their wage situation for the next two years,” she relayed.

Lestari believed that the delay in the decision was done in order to appease employers who are still being charged with the levy implemented in 2003.

“Obviously, the levy is one of the major stumbling block for us to have a significant wage increase. It does not benefit FDWs nor our employers and thus should be scrapped immediately,” she added.

Finally, Lestari announced the group’s plan to hold a rally on Sunday, July 13, to denounce the wage hike decision.

“There is no way that we can be satisfied with this decision. Our campaign shall continue until we get a significant and substantial wage hike and the levy is finally abolished,” she concluded.


Maids 'treated as slaves' in Saudi Arabia

The Jakarta Post, Jakarta|Wed, 07/09/2008 10:48 AM|Headlines

Working conditions for migrant domestic workers in Saudi Arabia -- including thousands of Indonesian workers -- sometimes amount to "slavery", according to a global human rights watchdog.


"In the best cases, migrant women in Saudi Arabia enjoy good working conditions and kind employers, and in the worst they're treated like virtual slaves. Most fall somewhere in between," said Nisha Varia, senior researcher in the women's rights division of Human Rights Watch (HRW).

But the rise of a "young, reformist elite" in Saudi Arabia offers opportunities for change -- opportunities labor advocates and countries that send migrant labor, such as Indonesia, should take advantage of, according to HRW executive director Kenneth Roth.

He said the new generation did not want the country to be known as one that "closes its eyes to the abuse of domestic workers".

Roth and Varia presented the findings of HRW's latest study in a discussion Monday, hosted by the National Commission on Violence against Women.

The study, "As if I am not human: Abuses against Asian domestic workers in Saudi Arabia", involved interviews with Indonesian, Filipino, Nepalese and Sri Lankan workers in the kingdom, conducted between 2006 and early 2008.

Indonesia has been sending migrant workers, mainly maids, to the Middle East and other regions since the 1980s, and media reports of abuse have repeatedly surfaced.

The Saudi embassy did not reply to requests Monday to respond to the study.

The study quotes from HRW's interview with Saudi labor minister Ghazi al-Qusaibi, who said "radical reforms" were being planned to establish better protection for migrant domestic workers.

But according to Varia, "the Saudi government has some good proposals for reform but it has spent years considering them without taking any action".

Reform for the kingdom's 1.5 million domestic workers is needed "so that women desperate to earn money for their families don't have to gamble with their lives", Varia said.

One of HRW's recommendations is to reform or abolish the sponsorship system known as kafala, which ties migrant workers' visas to their employers. This system means employers can prevent workers from changing jobs or leaving the country.

Reform is also needed in Saudi Arabia's criminal justice system, HRW said. The study found in many cases employers were not prosecuted for abusing domestic workers.

HRW cited the example of abused Indonesian worker Nour Miyati, who lost her case despite "the employer's confession, ample medical evidence, and intense public scrutiny".

Nour Miyati had to have her fingers and toes amputated as a result of being starved and beaten daily by her employers, HRW said.

The maids "are more likely to face counter-accusations of witchcraft, theft or adultery", the study said.

But tight competition among labor suppliers is leading to cost cutting at the expense of migrant workers, according to one Indonesian official.

"Some labor suppliers are complaining they don't make profits and have had to cut expenses such as training," Jumhur Hidayat, head of the National Labor Export and Protection Agency, said Monday.

Jumhur said some suppliers cut the mandatory 200 hours of training for migrants scheduled to work in the Middle East "to one hour, or even 10 minutes".

He said a number of measures, including ongoing negotiations with the Saudi government, were being taken to address the problems.

Legislator Tuti Lukman remarked that while it was easy to blame the problems on the countries that receive Indonesian labor, "they will note that we also fail to give formal recognition and protection to our own domestic workers".


Persoalan Buruh Migran Ada di Dalam Negeri

Senin, 14 Juli 2008 | 01:14 WIB

Oleh Maria Hartiningsih

Pengungkapan pelanggaran hak asasi manusia atau HAM yang serius terhadap perempuan buruh migran pekerja rumah tangga asal Asia di Arab Saudi dalam laporan khusus adalah pucuk gunung es persoalan buruh migran, khususnya di Indonesia. Akar persoalan ada di dalam negeri dalam cakupan yang sangat luas dan dalam.

Laporan setebal 133 halaman berjudul As If I Am Not Human: Abuses against Domestic Workers in Saudi Arabia diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dalam laporan setebal 155 halaman itu diluncurkan di Jakarta, Selasa (8/7/2008). Hadir Direktur Eksekutif Human Rights Watch Ken Roth dan peneliti senior Human Rights Watch (HRW) Nisha Varia, didampingi anggota Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Sri Wiyanti-Eddyono.

Isi laporan yang penelitiannya dilakukan atas undangan Pemerintah Arab Saudi itu meski menyentak, sebenarnya tak mengejutkan. Telah banyak diketahui, struktur sosial budaya masyarakat di situ menyebabkan pekerja rumah tangga (PRT) cenderung dianggap sebagai budak. Ini diperparah dengan sistem kafala (sponsor), yang menyebabkan nasib PRT migran sepenuhnya berada di tangan majikan.

Laporan itu merekomendasikan beberapa hal, sebagian besar terkait dengan pemerintah negara penerima, meski Ken Roth mendorong negara pengirim bersatu untuk memperkuat posisi tawar. Namun, seluruh upaya itu tak akan efektif kalau masalah akarnya, yakni di dalam negeri, tidak disentuh.

”Yang mendesak dilakukan adalah audit terhadap mekanisme perekrutan, penempatan, dan perlindungan, juga pemetaan persoalan secara mendetail di setiap lini,” ujar Sri Wiyanti.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, misalnya, memberi porsi sangat besar terhadap swasta, sampai seperti pengalihan tanggung jawab negara karena swasta berada di semua lini kegiatan, mulai perekrutan, penempatan sampai pemantauan. ”Ini kan tumpang tindih kepentingan,” tegas Sri Wiyanti.

Dalam dialog publik, Ketua Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Jumhur Hidayat mengakui semua kelemahan yang ada. Namun, ia juga menjelaskan berbagai upaya pembenahannya.

Mekanisme pengiriman buruh migran tampaknya memang ruwet. Kata Sri Wiyanti, banyak titik kegiatan yang tanggung jawabnya tumpang tindih sehingga cenderung saling lempar tanggung jawab. Di titik krusial lain tak ada sama sekali yang menyentuh. Koordinasi antarinstansi tak berjalan baik, demikian juga antarpemerintah daerah dan pusat, sementara rantai perdagangan manusia adalah ancaman riil, khususnya atas buruh migran yang dideportasi.

Bahkan, pemulangan buruh migran bukan soal sederhana. Tindak pemerasan bisa terjadi di mana saja, termasuk kepada buruh migran tak berkasus. Dana untuk perlindungan TKI tak pernah memadai sehingga nasib mereka seperti bola.

Makin terkuak

Sejak awal tahun 1990-an, penyiksaan dan kematian tenaga kerja wanita (TKW) di Arab Saudi mulai terkuak. Pada pertengahan tahun 1990-an, Menteri Urusan Peranan Wanita Mien Sugandhi memberikan pernyataan kritis tentang hal itu. Setelah ”Reformasi”, soal itu terkuak lebar-lebar.

”Tahun 2007, di Riyadh saja, 102 TKW tewas,” ujar Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah. ”Di kota lain, kami tak punya datanya karena tak semua KBRI terbuka.”

Laporan penelitian selama dua tahun melibatkan wawancara dengan 86 TKW, 13 agen perekrut, termasuk enam dari Arab Saudi, 39 petugas pemerintah, dan tujuh aktivis di Arab Saudi itu mengakui, tak semua PRT migran bernasib buruk. Akan tetapi, yang bernasib buruk mengalami perlakuan seperti budak, mulai dari gaji tak dibayar sampai penyiksaan—termasuk penyiksaan seksual—bahkan kematian.

Dalam sistem hukum di Saudi, TKW-PRT korban kekerasan justru dikriminalisasi dengan tuduhan zinah dan melakukan sihir, sedangkan seluruh mekanisme di Indonesia yang cenderung membiarkan impunitas terhadap pelaku terus berlangsung.

”Kami mengadvokasi keluarga mereka untuk menempuh jalur hukum, tetapi lalu datang pihak yang berhasil membujuk jalan damai dengan kompensasi sampai Rp 400 juta. Kasus itu berakhir tanpa penyelesaian pelanggarannya,” kata Anis. Berbeda dengan Pemerintah Filipina, Pemerintah Indonesia tampaknya tak mau direpotkan dengan soal-soal ini.

Jumlah PRT dari Asia di Arab Saudi sekitar 1,5 juta orang—terutama berasal dari Indonesia, Sri Lanka, Filipina, dan Nepal— dari delapan juta tenaga kerja di sana, atau sepertiga jumlah penduduk Saudi. Mereka mengisi kekosongan pelayanan dan jasa di bidang kesehatan, konstruksi dan pekerjaan rumah tangga. Dari Indonesia, menurut aktivis pembela hak-hak buruh migran Wahyu Susilo, jumlahnya sekitar 1,2 juta dari sekitar enam juta TKI di berbagai negara. Sebagian besar bekerja sebagai PRT. Jumlah TKW yang mengalami penyiksaan dan kematian akibat kekerasan, terbanyak terjadi di Arab Saudi.

Sayangnya, laporan itu hanya menghitung besarnya dukungan ekonomi kepada negara asal migran, yakni 15,6 miliar dollar AS tahun 2006, hampir 5 persen pendapatan kotor (GDP) Arab Saudi, tetapi tidak ada penghitungan sumbangan buruh migran terhadap produktivitas di negara penerima.

Sebelum meluncurkan laporan itu, tim HRW melakukan kunjungan resmi kepada Dubes Arab Saudi di Indonesia, DPR, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan. ”Dubes menghargai laporan ini, tetapi ketika membaca judulnya, ia tak terima. Pihak HRW menekankan perlindungan korban kekerasan yang tiap tahun sedikitnya 10.000 orang dari berbagai negara mengadukan kasusnya,” ujar Anis yang mengikuti kunjungan tim HRW itu.

Sebenarnya ada rencana pertemuan antara Pemerintah RI dan Pemerintah Arab Saudi untuk membicarakan masalah penempatan TKI, tetapi pertemuan itu ditunda Pemerintah Arab Saudi sampai tiga kali. ”Katanya Agustus. Kita lihat saja,” ujar Anis.