Kamis, 31 Juli 2008

Buruh migran memprotes keputusan pemerintah Hong Kong yang tidak memasukan kontrak yang masih berjalan dalam kebijakan penghentian pajak

“Dengan mengecualikan kontrak yang masih berjalan dalam kebijakan penghentian pajak, pemerintah Hong Kong sekali lagi menunjukan sikap tidak berperikemanusiaan bagi pembantu rumah tangga asing,” ini adalah sikap Asian Migrants Coordinating Body (AMCB) sebagai respon terhadap pengumuman pemerintah Hong Kong atas penghentian penarikan pajak yang mulai efektif sejak 1 agustus 2008, yang hanya diberlakukan bagi kotrak baru.

Dalam aksi piket yang digelar di Kantor Pusat Pemerintahan sebagai respon terhadap pengumuman tersebut, AMCB menyatakan kebijakan tersebut akan mengakibatkan terjadinya PHK besar-besaran, akibat majikan yang ingin menghindari membayar pajak bagi pembantu lama mereka




Juru bicara AMCB yang juga ketua ATKI Eni Lestari mengatakan “Dalam kerangka kebijakan baru ini, pemerintah Hong Kong tidak menunjukan niat untuk membantu buruh migran, malahan melalui kebijakan ini, pemerintah telah mengambil sikap untuk menolak membuat kondisi buruh migran lebih baik”



Eni juga menyesalkan respon pemerintah Hong Kong atas PHK yang mulai terjadi akibat penghentian pengenaan pajak yang selektif, menurut pemerintah, persoalan PHK akan diselesaikan melalui kebijaksanaan direktur imigrasi, yang akan mengizinkan “percepatan pembaharuan kontrak” sehingga para buruh migran tetap dapat menetap di Hong Kong selama proses kontraknya sedang diproses.


“Pemerintah Hong Kong sama sekali tidak memahami kondisi sebenarnya, dan lebih jauh mereka juga membuat buruh migran menjadi resah dan menambah rumit proses implementasi kebijakan baru ini” ungkap Eni “Pemerintah Hong Kong memiliki kebiasaan menempatkan buruh migran dalam posisi yang rumit. Melalui keputusan baru pemerintah Hong Kong ini, Buruh Migran ditempatkan pada situasi yang sangat tidak nyaman, membingungkan dan birokratis.”

Menurut Eni “percepatan pembaharuan kontrak” adalah proses yang tidak jelas, dan tidak memiliki tata cara yang jelas dan tentunya tida menjawab ketakutan buruh migrant

“Apakah kebijakan tersebut juga berlaku bagi katankanlah buruh migran yang baru bekerja satu bulan, dan apakah sekarang mereka dapat memperbaharui kontrak lagi? Apakah hal tersebut termasuk kategori PHK? Bila iya, apakah hal itu juga berarti walaupun kami dapat menetap di Hong Kong, namun kami tidak diperbolehkan bekerja ketika dokumen kami sedang diproses? Pemerintah bahkan sedang mempertimbangkan penerapan quota untuk menghadapi kemungkinan melonjaknya pengajuan kontrak baru. Bagaimana kami dapat hidup bila kami menunggu lebih dari satu bulan? Dan juga bagaiman dengan hak atas bonus long servis dan pesangon? Lontar eni

Eni menyatakan, dengan skema sepert ini hanya majikan yang menikmati penghentian pajak, dan juga agen perekrutan juga akan mendapatkan lebih banyak keuntungan dengan membludaknya pemohonan dan juga tentunya negara pengirim yang menetapkan beberapa biaya untuk proses pengajuan kontrak.

“Cara yang terbaik dan termudah untuk menyelesaikan persoalan ini adalah dengan menetapkan penghentian pajak tanpa kategori tertentu. Kenapa harus dibuat rumit? Pilihan solusi yang diberikan pemerintah bagi kontrak yang masih berjalan tidak tepat bila dikatakan sebagai pilihan bila mempertimbangkan persoalan yang muncul akibat kebijakan tersebut. Melalui cara pemerintah menerapkan kebijakan penghentian pajak, buruh migran lah yang pada akhirnya pihak yang paling dirugikan” tegas Eni

Eni juga menambahkan, akan lebih buruk bagi mereka yang tidak di kontrak kembali dengan majikan mereka, karena usulan pemerintah tidak menjamin majikan harus mengambil pekerja yang sama. Sedang bila mereka terpaksa mecari majikan baru, mereka diwajiban untuk keluar terlebih dahulu dari Hong Kong untuk menunggu Visa.

Hari minggu yang lalu, lebih dari 1000 buruh migran menggelar aksi di kantor pusat pemerintahan (CGO) menuntut penghentian pajak diberlakukan bagi semua – kontrak yang berjalan maupun baru –. Pengakuan juga diberikan oleh beberapa buruh migran yang mengalami dan PHK yang diancam akan di PHK dan juga pengakuan dari beberapa orang yang sedamg mengurus kontrak namun majikan mereka mencabut aplikasi yang sedang diproses.

“Kebijakan ini sangatlah tidak berperikemanusiaan dan menunjukan pemerintah Hong Kong diskriminatif dan tidak mempertimbangkan kepentingan buruh migran. Apakah Donald Tsang mau menghidupi keluarga para buruh migran bila mereka di PHK?” tandasnya

Eni mengatakan kebijakan ini hanya akan mengundang protes yang lebih besar dari Buruh migran. Eni menyatakan pada tanggal 17 Agustus, AMCB akan menggerakan buruh migran dengan jumlah yang lebih besar untuk menuntut penghentin pajak harus diberlakukan untuk semua.

“Kami akan melakukan monitoring terhadap kasus PHK sebagai akibat dari kebijakan baru ini. Kami akan menunjukan bagaimana buruh migran menjadi korban atas kebijakan yang tidak adil ini” ungkapnya

Eni juga mengundang para buru migran untuk bergabung dalam aksi ini, dan juga penduduk lokal untuk mendukung tuntutan AMCB ini.

Eni mengingatkan, tuntutan lama tentang penghapusan pajak dan kenaikan gaji yang signifikan bagi buruh migran. Eni menyatakan bahwa kelahiran pajak adalah penyebab dari pemotongan gaji secara drastic yang dialami buruh migran pada tahun 2003 dan menurutnya, “pengenaan pajak hanya akan menahan kenaikan gaji”

Eni juga mengatakan, AMCB juga menuntut dihapuskannya the New Condition of Stay atau Two-Week Rule yang selama ini membuat buruh migran dalam kondisi yang lemah.

“Usaha untuk merampas hak kami harus dihentikan, kami sudah begitu dilemahkan, hingga kami tidak lagi memiliki pilihan selain melawan” tutup Eni#


Senin, 28 Juli 2008

“No exclusion on suspension”

Thousands of foreign maids rally for blanket coverage of levy suspension
“All of the 230,000 foreign domestic workers are affected by the levy now. There should be no exclusion on suspension.”


This was declared today by Eni Lestari, spokesperson of the Asian Migrants Coordinating Body or AMCB as more than a thousand foreign helpers marched from Chater Road to the Central Government office to reiterate their demand for the levy suspension to cover all contracts – ongoing and the new ones.

“We are highly-concerned of our job security and such worry is justified. Employers who want to immediately avail of the suspension have already expressed intention of terminating ongoing contracts and only the fact that no final decision has been taken by the HK government stops them from pushing it through. There is no just cause for this exclusion,” she added.

Lestari also hit the Hong Kong government for dilly-dallying on its final decision as to the design of the suspension plan. Early this week, the AMCB made a submission to the HK Executive Council calling for the suspension of the levy for all FDW contracts.

“The lack of response from the HK government on the danger of massive termination it is set to open is killing us. Labour and welfare secretary Matthew Cheung’s recommendation of an August 1 implementation only increases our fear of losing our jobs soon,” she remarked,

Lestari reported that already, employers have withdrawn applications for new employees or have deferred the issuance of visas for new helpers.

“Our fellow workers are already facing uncertainties to their employment. Levy suspension that does not cover all now is a disaster waiting to happen. And the disaster is on us foreign helpers,” she stated.

The group said that they will sustain their protest actions until their demand of a suspension for all is met. Lestari relayed that they are also seeking the support of local organizations, legislators, and trade unions in their campaign.

“We will accept no less than a blanket suspension of the levy for it is our livelihood and rights that are at stake,” she concluded.#



Selasa, 22 Juli 2008

“Exclusion of existing contracts threatens our job security”

Foreign maids to rally thousands for blanket coverage and immediate levy suspension

“Suspension of levy for new contracts alone poses a clear and present danger to the 220,000 ongoing contracts. This government is endangering our jobs and will surely lead to mass termination of FDWs.”

This was declared today by Eni Lestari, spokesperson of the Asian Migrants Coordinating Body or AMCB as more than 50 of their members gathered at the Central Government Office to demand from the Executive Council to make the levy suspension it announced to cover all foreign domestic workers – those with ongoing contracts and the new ones.

“When the levy was implemented in 2003, our wage suffered. As how the suspension stands now, it puts our job at stake. When will the HK government make our rights and wellbeing part of its priorities?” she added.

Lestari said that to have the levy suspension cover new contracts alone will result to an “open season of termination” as, she believed, employers will surely opt to get new contracts to save money.

According to Lestari, after the HK government announced the two-year suspension of the levy, they have gathered information from fellow workers who have ongoing contracts that their employers are threatening them of termination. Reports from member organizations of AMCB showed that there are employers who are now considering an early termination of their employee’s contract and just promising the FDWs that they will be rehired as soon as the suspension takes effect.

Meanwhile, those whose contracts are up for renewal soon and those who are already processing new contracts said that their employers are having second thoughts of hiring them now and are thinking of waiting for the levy suspension to take effect first before doing so.

Lestari hit Labour Secretary Matthew Cheung for disregarding the impacts to FDWs of the current design of levy suspension. Cheung said that the government will ensure the benefit and convenience of employers in their decision-making.

“How about us? Shouldn’t a labour official, first and foremost, consider the workers themselves? There was even no attempt by the HK government to get the views of the FDWs on this matter. It is highly-inconsistent of a government who just recently passed Racial Discrimination Ordinance to disregard one of the biggest sector of ethnic minorities in HK,” she lamented.

The AMCB spokeswoman said that their member organizations composed of Filipino, Indonesian, Thai, Nepalese and Sri Lankan groups are already gearing for actions to advance their call for blanket coverage and immediate suspension of the levy.

“The forums and discussions we held last Sunday with migrant workers have shown the indignation of FDWs against the HK government for putting our jobs in jeopardy. The urgency to put pressure is there and this selective and delayed suspension shall be put to shame by thousands of us who will march and protest,” she reported.

Lestari also called on to employers, particularly the middle income ones, to also speak out against the delay of the suspension.

“Since its introduction, the levy has been met with popular resistance. We demand its suspension for all now and we shall not stop until it is finally abolished,” Lestari concluded.#


Surat Keputusan Dirjen Binapenta No. 186 tahun 2008 tentang Biaya Penempatan BMI tujuan Hong Kong adalah pro PJTKI/PJTKA dan anti BMI

Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia, pada tanggal 10 Juli 2008, menetapkan surat keputusan nomor 186/2008 tentang Komponen dan Besarnya Biaya Penempatan Calon Tenaga Kerja Indonesia Penata Laksana Rumah Tangga, Perawat Bayi, dan Perawat Orang Tua/Jompo Untuk Negara Tujuan Hong Kong.

Dalam surat keputusan tersebut, Pemerintah Indonesia memangkas biaya penempatan BMI tujuan Hong Kong dari Rp. 17.845.000 (prakteknya menjadi Rp. 25 Juta) menjadi Rp. 15.550.000 plus USD 15.

Surat Keputusan ini adalah surat keputusan ketiga yang dibuat pemerintah Indonesia melaui dirjen BINAPENTA tentang biaya penempatan bagi BMI tujuan Hong Kong sejak tahun 1999, yaitu SK No. B.603/1999 yang menetapkan biaya sebesar Rp 17.845.000, SK No. Kep.653/2004 yang menetapkan biaya sebesar Rp. 9.132.000, dan yang terakhir adalah SK No. 186/2008 yang menetapkan biaya penempatan sebesar Rp 15.550.000 plus USD 15

Pemerintah Indonesia Tidak memiliki Komitmen Politik Untuk Melindung BMI
Dikeluarkannya tiga surat keputusan tentang Biaya penempatan tersebut, menunjukan seolah-olah pemerintah Indonesia memperhatikan dan melindungi nasib dan kesejahteraan warga negaranya yang terpaksa menjadi pembantu rumah tangga di negeri orang. Namun kenyataannya, dikeluarkannya surat keputusan tersebut tidak lebih dari upaya meredam protes-protes yang dilakukan oleh BMI terutama di Hong Kong, tentang mahalnya biaya penempatan atau Overcharging yang semakin hari semakin membesar dan meluas.

Selain itu, dikeluarkannya beberapa Surat keputusan tentang biaya penempatan, membuktikan bahwa pemerintah Indonesia yang dipimpin rejim penjual rakyat SBY-Kalla ini, bahkan mengakui dan tidak lagi bisa berkelit bahwasanya BMI mengalami Overcharging atau exploitasi melalui biaya penempatan yang sangat mahal.

Namun, kepentingan pemerintah Indonesia untuk semakin menyempurnakan ekspor tenaga kerja melalui peningkatan drastis pengiriman BMI dan memaksimalkan potensi devisa negara melalui uang kiriman BMI, tidak bisa lagi ditutupi dari setiap kebijakan yang mereka buat.

Faktanya, walaupun pemerintah Indonesia telah menurunkan biaya penempatan bagi BMI tujuan Hong Kong melalui SK No. Kep.653 tahun 2004 yang memangkas biaya penempatan dari Rp. 17.845.000 menjadi Rp. 9.132.000, namun BMI tidak pernah merasakan perubahan tersebut, kenyataannya BMI di Hong Kong masih diwajibkan membayar biaya penempatan versi tahun 1999 sebesar Rp. 17.845.000 dan bahkan dengan alasan melibatkan perusahaan keuangan, biaya tersebut membengkak menjadi HK$21.000 atau sebesar Rp 25 Juta, yang dipungut melalui potongan 5-7 bulan gaji BMI hingga kini.

Sejak diterbitkannya SK tentang biaya penempatan bagi BMI di Hong Kong versi tahun 2004, yaitu sebesar Rp. 9.132.000, pemerintah Indonesia tidak pernah berupaya untuk merealisasikan keputusannya tersebut, mereka membiarkan PJTKI dan PJTKA melanggar SK tersebut, dengan tetap memaksa BMI membayar biaya penempatan versi tahun 1999.

Namun, setelah protes yang dilancarkan BMI meningkat dan membesar, pemerintah Indonesia kembali mengeluarkan SK tentang biaya penempatan yang di tetapkan pada tanggal 10 Juli 2008, tanpa mampu menjelaskan tentang nasib SK tentang biaya penempatan yang mereka keluarkan pada tahun 2004 yang hingga kini tanpa realisasi.

Pemerintahan SBY-Kalla Anti kesejahteraan BMI
Selain persoalan tentang realisasi beberapa surat keputusan tentang penurunan biaya penempatan, juga terdapat persoalan besar didalam surat keputusan yang telah dikeluarkan pemerintah Indonesia.

Pada SK yang dikeluarkan pada tahun 1999, pemerintah memasukan beberapa kompenen biaya yang sangat tidak masuk akal, seperti biaya pemasaran, biaya pembuatan video, dan juga biaya pelatihan yang sangat mahal, sehingga kemudian biaya penempatan menjadi sebesar Rp. 17.845.000 ditambah dengan biaya komisi jasa keuangan seluruhnya kemudian menjadi Rp 25.000.000 uang yang terpaksa harus di bayar BMI, hanya karena miskin dan tidak dapat kesempatan berproduksi di Indonesia.

Sedangkan pada SK yang dikeluarkan pada tahun 2004, walaupun terlihat mengalami penurunan yang sangat drastis menjadi Rp. 9.132.000, namun belum terlihat upaya pemerintah untuk melindungi BMI, fakta ini terlihat dalam komponen yang harus dibayarkan BMI, pemerintah memasukan biaya tiket pesawat, pengurusan paspor, tes kesehatan dalam komponen biaya yang harus di bayar BMI kepada agency, yang jelas-jelas sudah diatur dalam kontrak kerja di Hong Kong, dan semua itu harus ditanggung majikan.

Dan pada SK yang ditetapkan 10 juli 2008 ini, biaya penempatan kembali melonjak secara drastis menjadi Rp. 15.550.000 plus USD15, dari jumlah tersebut, BMI harus menanggung biaya pelatihan dan sarananya sebesar Rp 11.200.000 diluar biaya jasa perusahaan sebesar Rp. 3.740.000 sehingga total biaya agency menjadi Rp. 14.940.000, fakta ini menunjukan, bila pemerintah mau melindungi BMI dengan menghilangkan beban biaya pelatihan, maka BMI hanya akan terbebani oleh biaya penempatan sebesar satu bulan gaji, dan itulah yang menjadi tuntutan BMI Hong Kong saat ini.

Dari seluruh kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia tentang biaya penempatan BMI, BMI selalu menjadi pihak yang paling dirugikan disaat pihak PJTKI dan PJTKA mendapatkan perlindungan untuk meraup sebanyak-banyaknya keuntungan dari proses ekspor tenaga kerja ini.

Untuk itulah, menyikapi ditetapkannya SK No. 186/2008 tentang Komponen Biaya Penempatan Calon Tenaga Kerja Indonesia Penata Laksana Rumah Tangga, Perawat Bayi, dan Perawat Orang Tua/Jompo untuk negara tujuan Hong Kong, kami, Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia di Hong Kong (ATKI-HK) bersikap

1. Bebaskan BMI dari biaya pelatihan
2. Berikan BMI hak melakukan Kontrak Mandiri (direct Hiring)
3. Tetapkan Biaya penempatan maksimal sebesar 1 bulan gaji



Hong Kong, 22 Juli 2008


Eni Lestari Andayani
Ketua ATKI-HK



Senin, 14 Juli 2008

“We deserve more than crumbs”

Foreign maids express discontent over HK$100 hike

We waited for a very, very long time and still we get mere crumbs. This is insulting, most unjust and we definitely do not deserve this.

This was expressed today by Eni Lestari, spokesperson of the Asian Migrants Coordinating Body (AMCB) and chairperson of the newly-founded International Migrants Alliance (IMA), following the Hong Kong government’s announcement of a HK$100 hike in the monthly minimum allowable wage for foreign domestic workers.

“The HK government lied when it said that the MAW adjustment is based on the economic and employment situation in HK and its tired-old basket of economic indicators. All indication, especially the HK$100-billion budget surplus, points to a more significant wage hike. This is definitely not what we expect after all the showers of benefits that were given to businesses and other sectors,” she remarked.

In its submission for a wage hike early this year, the AMCB decried the piecemeal wage increases that have been implemented in recent years. They reiterated the economic boom of HK as enough reason for a substantial wage hike to FDWs.

According to Lestari, the 3% increase only brings the annual wage of FDWs in HK to HK$42,960.

“This is still very, very low as compared to other countries with similar economic standards like HK such as the United Kingdom with HK$ 58,750 a year and an estimated HK$ 110,424 in Spain,” she reported

The group, composed mainly of FDWs from the Philippines, Indonesia, Thailand, Nepal and Sri Lanka, also lamented the delay in the results of the MAW review. Lestari reported that everyday, a minimum 400 Filipinos process their contracts and it is almost the same for Indonesians.

“Because of the delay in the announcement that in the past has been done before June, tens of thousands of FDWs have already been denied of any improvement in their wage situation for the next two years,” she relayed.

Lestari believed that the delay in the decision was done in order to appease employers who are still being charged with the levy implemented in 2003.

“Obviously, the levy is one of the major stumbling block for us to have a significant wage increase. It does not benefit FDWs nor our employers and thus should be scrapped immediately,” she added.

Finally, Lestari announced the group’s plan to hold a rally on Sunday, July 13, to denounce the wage hike decision.

“There is no way that we can be satisfied with this decision. Our campaign shall continue until we get a significant and substantial wage hike and the levy is finally abolished,” she concluded.


Maids 'treated as slaves' in Saudi Arabia

The Jakarta Post, Jakarta|Wed, 07/09/2008 10:48 AM|Headlines

Working conditions for migrant domestic workers in Saudi Arabia -- including thousands of Indonesian workers -- sometimes amount to "slavery", according to a global human rights watchdog.


"In the best cases, migrant women in Saudi Arabia enjoy good working conditions and kind employers, and in the worst they're treated like virtual slaves. Most fall somewhere in between," said Nisha Varia, senior researcher in the women's rights division of Human Rights Watch (HRW).

But the rise of a "young, reformist elite" in Saudi Arabia offers opportunities for change -- opportunities labor advocates and countries that send migrant labor, such as Indonesia, should take advantage of, according to HRW executive director Kenneth Roth.

He said the new generation did not want the country to be known as one that "closes its eyes to the abuse of domestic workers".

Roth and Varia presented the findings of HRW's latest study in a discussion Monday, hosted by the National Commission on Violence against Women.

The study, "As if I am not human: Abuses against Asian domestic workers in Saudi Arabia", involved interviews with Indonesian, Filipino, Nepalese and Sri Lankan workers in the kingdom, conducted between 2006 and early 2008.

Indonesia has been sending migrant workers, mainly maids, to the Middle East and other regions since the 1980s, and media reports of abuse have repeatedly surfaced.

The Saudi embassy did not reply to requests Monday to respond to the study.

The study quotes from HRW's interview with Saudi labor minister Ghazi al-Qusaibi, who said "radical reforms" were being planned to establish better protection for migrant domestic workers.

But according to Varia, "the Saudi government has some good proposals for reform but it has spent years considering them without taking any action".

Reform for the kingdom's 1.5 million domestic workers is needed "so that women desperate to earn money for their families don't have to gamble with their lives", Varia said.

One of HRW's recommendations is to reform or abolish the sponsorship system known as kafala, which ties migrant workers' visas to their employers. This system means employers can prevent workers from changing jobs or leaving the country.

Reform is also needed in Saudi Arabia's criminal justice system, HRW said. The study found in many cases employers were not prosecuted for abusing domestic workers.

HRW cited the example of abused Indonesian worker Nour Miyati, who lost her case despite "the employer's confession, ample medical evidence, and intense public scrutiny".

Nour Miyati had to have her fingers and toes amputated as a result of being starved and beaten daily by her employers, HRW said.

The maids "are more likely to face counter-accusations of witchcraft, theft or adultery", the study said.

But tight competition among labor suppliers is leading to cost cutting at the expense of migrant workers, according to one Indonesian official.

"Some labor suppliers are complaining they don't make profits and have had to cut expenses such as training," Jumhur Hidayat, head of the National Labor Export and Protection Agency, said Monday.

Jumhur said some suppliers cut the mandatory 200 hours of training for migrants scheduled to work in the Middle East "to one hour, or even 10 minutes".

He said a number of measures, including ongoing negotiations with the Saudi government, were being taken to address the problems.

Legislator Tuti Lukman remarked that while it was easy to blame the problems on the countries that receive Indonesian labor, "they will note that we also fail to give formal recognition and protection to our own domestic workers".


Persoalan Buruh Migran Ada di Dalam Negeri

Senin, 14 Juli 2008 | 01:14 WIB

Oleh Maria Hartiningsih

Pengungkapan pelanggaran hak asasi manusia atau HAM yang serius terhadap perempuan buruh migran pekerja rumah tangga asal Asia di Arab Saudi dalam laporan khusus adalah pucuk gunung es persoalan buruh migran, khususnya di Indonesia. Akar persoalan ada di dalam negeri dalam cakupan yang sangat luas dan dalam.

Laporan setebal 133 halaman berjudul As If I Am Not Human: Abuses against Domestic Workers in Saudi Arabia diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dalam laporan setebal 155 halaman itu diluncurkan di Jakarta, Selasa (8/7/2008). Hadir Direktur Eksekutif Human Rights Watch Ken Roth dan peneliti senior Human Rights Watch (HRW) Nisha Varia, didampingi anggota Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Sri Wiyanti-Eddyono.

Isi laporan yang penelitiannya dilakukan atas undangan Pemerintah Arab Saudi itu meski menyentak, sebenarnya tak mengejutkan. Telah banyak diketahui, struktur sosial budaya masyarakat di situ menyebabkan pekerja rumah tangga (PRT) cenderung dianggap sebagai budak. Ini diperparah dengan sistem kafala (sponsor), yang menyebabkan nasib PRT migran sepenuhnya berada di tangan majikan.

Laporan itu merekomendasikan beberapa hal, sebagian besar terkait dengan pemerintah negara penerima, meski Ken Roth mendorong negara pengirim bersatu untuk memperkuat posisi tawar. Namun, seluruh upaya itu tak akan efektif kalau masalah akarnya, yakni di dalam negeri, tidak disentuh.

”Yang mendesak dilakukan adalah audit terhadap mekanisme perekrutan, penempatan, dan perlindungan, juga pemetaan persoalan secara mendetail di setiap lini,” ujar Sri Wiyanti.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, misalnya, memberi porsi sangat besar terhadap swasta, sampai seperti pengalihan tanggung jawab negara karena swasta berada di semua lini kegiatan, mulai perekrutan, penempatan sampai pemantauan. ”Ini kan tumpang tindih kepentingan,” tegas Sri Wiyanti.

Dalam dialog publik, Ketua Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Jumhur Hidayat mengakui semua kelemahan yang ada. Namun, ia juga menjelaskan berbagai upaya pembenahannya.

Mekanisme pengiriman buruh migran tampaknya memang ruwet. Kata Sri Wiyanti, banyak titik kegiatan yang tanggung jawabnya tumpang tindih sehingga cenderung saling lempar tanggung jawab. Di titik krusial lain tak ada sama sekali yang menyentuh. Koordinasi antarinstansi tak berjalan baik, demikian juga antarpemerintah daerah dan pusat, sementara rantai perdagangan manusia adalah ancaman riil, khususnya atas buruh migran yang dideportasi.

Bahkan, pemulangan buruh migran bukan soal sederhana. Tindak pemerasan bisa terjadi di mana saja, termasuk kepada buruh migran tak berkasus. Dana untuk perlindungan TKI tak pernah memadai sehingga nasib mereka seperti bola.

Makin terkuak

Sejak awal tahun 1990-an, penyiksaan dan kematian tenaga kerja wanita (TKW) di Arab Saudi mulai terkuak. Pada pertengahan tahun 1990-an, Menteri Urusan Peranan Wanita Mien Sugandhi memberikan pernyataan kritis tentang hal itu. Setelah ”Reformasi”, soal itu terkuak lebar-lebar.

”Tahun 2007, di Riyadh saja, 102 TKW tewas,” ujar Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah. ”Di kota lain, kami tak punya datanya karena tak semua KBRI terbuka.”

Laporan penelitian selama dua tahun melibatkan wawancara dengan 86 TKW, 13 agen perekrut, termasuk enam dari Arab Saudi, 39 petugas pemerintah, dan tujuh aktivis di Arab Saudi itu mengakui, tak semua PRT migran bernasib buruk. Akan tetapi, yang bernasib buruk mengalami perlakuan seperti budak, mulai dari gaji tak dibayar sampai penyiksaan—termasuk penyiksaan seksual—bahkan kematian.

Dalam sistem hukum di Saudi, TKW-PRT korban kekerasan justru dikriminalisasi dengan tuduhan zinah dan melakukan sihir, sedangkan seluruh mekanisme di Indonesia yang cenderung membiarkan impunitas terhadap pelaku terus berlangsung.

”Kami mengadvokasi keluarga mereka untuk menempuh jalur hukum, tetapi lalu datang pihak yang berhasil membujuk jalan damai dengan kompensasi sampai Rp 400 juta. Kasus itu berakhir tanpa penyelesaian pelanggarannya,” kata Anis. Berbeda dengan Pemerintah Filipina, Pemerintah Indonesia tampaknya tak mau direpotkan dengan soal-soal ini.

Jumlah PRT dari Asia di Arab Saudi sekitar 1,5 juta orang—terutama berasal dari Indonesia, Sri Lanka, Filipina, dan Nepal— dari delapan juta tenaga kerja di sana, atau sepertiga jumlah penduduk Saudi. Mereka mengisi kekosongan pelayanan dan jasa di bidang kesehatan, konstruksi dan pekerjaan rumah tangga. Dari Indonesia, menurut aktivis pembela hak-hak buruh migran Wahyu Susilo, jumlahnya sekitar 1,2 juta dari sekitar enam juta TKI di berbagai negara. Sebagian besar bekerja sebagai PRT. Jumlah TKW yang mengalami penyiksaan dan kematian akibat kekerasan, terbanyak terjadi di Arab Saudi.

Sayangnya, laporan itu hanya menghitung besarnya dukungan ekonomi kepada negara asal migran, yakni 15,6 miliar dollar AS tahun 2006, hampir 5 persen pendapatan kotor (GDP) Arab Saudi, tetapi tidak ada penghitungan sumbangan buruh migran terhadap produktivitas di negara penerima.

Sebelum meluncurkan laporan itu, tim HRW melakukan kunjungan resmi kepada Dubes Arab Saudi di Indonesia, DPR, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan. ”Dubes menghargai laporan ini, tetapi ketika membaca judulnya, ia tak terima. Pihak HRW menekankan perlindungan korban kekerasan yang tiap tahun sedikitnya 10.000 orang dari berbagai negara mengadukan kasusnya,” ujar Anis yang mengikuti kunjungan tim HRW itu.

Sebenarnya ada rencana pertemuan antara Pemerintah RI dan Pemerintah Arab Saudi untuk membicarakan masalah penempatan TKI, tetapi pertemuan itu ditunda Pemerintah Arab Saudi sampai tiga kali. ”Katanya Agustus. Kita lihat saja,” ujar Anis.



Jumat, 11 Juli 2008

Maaf, Kami tidak Percaya Angket DPR!

JAKARTA, FPR. Hak angket yang diwacanakan DPR pada saat ini, ternyata tidak disambut meriah oleh rakyat. Berbeda dengan kelompok-kelompok yang menyatakan dukungan terhadap kenaikan BBM, Front Perjuangan Rakyat yang merupakan gabungan dari organisasi-organisasi massa dan organisasi non-pemerintah yang selama ini giat menuntut pembatalan kenaikan BBM justru meragukan niat angket DPR.
Hak angket DPR hanya permainan politik partai-partai di DPR yang takut kehilangan massa akibat kenaikan harga BBM. Pernyataan ini disampaikan Rudi HB Daman di sela-sela aksi menuntut pembatalan kenaikan harga BBM di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat, Jakarta, Kamis (10/7).

Menurut Rudi, kebijakan kenaikan harga BBM SBY-JK tahun ini yang hanya satu tahun menjelang pelaksanaan Pemilu 2009 tentu saja memancing reaksi politik dari partai-partai besar. Ini bukanlah hal baru. Sejak era Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, hingga SBY-JK, hampir setiap keputusan kenaikan BBM selalu disambut dengan naiknya suhu politik, khususnya di DPR.

Namun, gejolak tersebut selalu berujung anti-klimak. “Tidak ada yang bisa diharapkan rakyat dari hak angket DPR. Hak tersebut tidak akan menyebabkan diturunkannya harga BBM yang sudah kadung dinaikkan SBY-JK sejak 23 Mei 2008, tidak pula akan mendorong kejatuhan rejim boneka imperialis yang anti-rakyat itu,” tegas Rudi.

“Jadi janganlah tertipu, hak angket DPR bukan kemenangan rakyat yang harus didukung oleh gerakan sosial di Indonesia yang saat ini berjuang menuntut pembatalan kenaikan BBM. Sebaliknya, angket DPR adalah jebakan bagi gerakan rakyat untuk menyerahkan semua energy perlawanan kepada partai-partai DPR yang gemar menipu rakyat,” tegas Rudi.

Sinyalemen ini sebenarnya tidak bisa dibantah, mengingat hingga saat ini, tidak ada klarifikasi apapun dari DPR yang bisa menjamin terpenuhinya tuntutan-tuntutan rakyat. Terlebih, DPR sebenarnya telah mengesahkan APBN-Perubahan 2008 yang didalamnya mencantumkan pencabutan subsidi BBM yang notabene berarti kesepakatan untuk mendukung politik SBY-JK yang menaikkan BBM.

“Pengesahan APBN Perubahan 2008 oleh DPR berarti menolong SBY-JK dari ancaman pelanggaran konstitusi akibat kebijakannya menaikkan harga BBM. Dengan demikian, institusi DPR dan partai-partai politik yang berhimpun di dalamnya, secara hakikat sejalan dengan rejim anti-rakyat SBY-JK. Oleh karena itu, tidak ada alasan politik yang logis untuk mendukung usaha hak angket DPR,” jelas Rudi.

Klarifikasi yang dimaksud sesungguhnya tidak hanya pengesahan APBN Perubahan 2008, melainkan juga pencabutan UU Migas nomor 22 tahun 2001 yang melapangkan jalan untuk liberalisasi pengelolaan migas di Indonesia. “Karena UU itu, perusahaan-perusahaan imperialis seperti ExxonMobile, Chevron, Total, dan lain-lain secara leluasa mengeruk dan menimbun kekayaan minyak Indonesia,” tegas Rudi.

Harus diingat, di tengah memburuknya krisis ekonomi rakyat dan membusuknya citra DPR yang dicibir, dinista dan dihina-hina oleh rakyat akibat korupsi yang berlapis-lapis, perzinahan yang tak kenal malu, dan hal-hal busuk lainnya seperti diberitakan belakangan ini, propaganda hak angket DPR sesungguhnya tidak lebih dari maksud DPR untuk memulihkan citranya sendiri. Dengan demikian, tidak ada kepentingan rakyat yang akan bisa diakomodasi.

Rudi menyatakan lebih percaya dengan jalan yang sudah tempuh. Dengan aksi-aksi jalanan, menghimpun dan mengampanyekan sebanyak mungkin suara-suara rakyat, suara-suara buruh, suara-suara petani, miskin kota, perempuan, buruh migrant, pemuda, pelajar dan mahasiswa, dan lain-lain, dan bersama-sama menyatakan tuntutan pembatalan kenaikan harga BBM tanpa harus menggunakan cara-cara seperti yang ditempuh parlemen.

“Karenanya, mohon maaf, kami tidak percaya dengan angket DPR,” tutup Rudi.***