Kompas, Jumat, 28 September 2007
Hari Jumat (7/9) menjadi hari amat bersejarah bagi tenaga kerja Indonesia di Malaysia. Hari itu, untuk pertama kali, Komisi Hak Asasi Manusia Malaysia (Suhakam) dipimpin ketuanya Datuk Siva Subramamam mengunjungi 80-an TKI perempuan yang berlindung di Kedutaan Besar Republik Indonesia Kuala Lumpur. Mereka menjadi korban kekerasan majikan.
Kekerasan yang dialami TKI itu bervariasi, antara lain gaji tidak dibayar berbulan-bulan, diperkosa, dan dianiaya. Dari 80-an TKI itu, tiga di antaranya menjadi korban pemerkosaan dan melahirkan anak, sedangkan satu lagi sedang hamil tujuh bulan.
Di hadapan 80-an TKI itu, Datuk Siva berjanji akan ikut memperjuangkan hak-hak TKI. "Hak asasi tidak membedakan warga negara. Kami akan mencoba membantu menyelesaikan masalah kalian," kata Datuk Savi.
Kasus gaji tidak dibayar, pemerkosaan, penyiksaan, dan penganiayaan lainnya kerap menimpa TKI yang bekerja di Malaysia. Data KBRI di Kuala Lumpur menyebutkan, setiap tahun instansi itu menangani minimal 1.000 kasus yang terkait dengan TKI.
Menurut Ketua Satuan Tugas Pelayanan dan Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) di KBRI Kuala Lumpur Tatang B Razak, dari segi kebijakan, sebetulnya telah dihasilkan berbagai perangkat hukum untuk membenahi masalah TKI. Ada Undang-Undang (UU) Nomor 39 tentang Penempatan TKI di Luar Negeri. Ada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 6 Tahun 2006. Bahkan, telah dilakukan nota kesepahaman (MOU) antara Pemerintah RI-Malaysia tahun 2006. Dalam MOU itu diatur hak dan kewajiban pekerja, majikan, agen TKI di Malaysia, Perusahaan Pengerah Jasa TKI di Indonesia, serta pemerintah kedua negara.
Namun, implementasinya masih tersendat. "Terbukti, kehadiran TKI ilegal masih marak, gaji TKI tidak dibayar, masih ada tindak kekerasan terhadap TKI, paspor TKI masih dipegang majikan atau agen di Malaysia," kata Tatang.
Lebih parah lagi, sebagian besar TKI yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga ternyata tanpa dibekali keterampilan saat dikirim dari Indonesia. Mereka direkrut dari kampung dan langsung dikirim ke Kuala Lumpur, Johor, atau kota besar lain di Malaysia untuk bekerja pada majikan yang berpenghasilan menengah ke atas.
Maka, ketika diharuskan mengoperasikan mesin cuci atau menyetrika pakaian, TKI itu pun bingung dan tak bekerja optimal. "Kenyataan itu memicu peluang terjadi kekerasan. Apalagi, untuk mendapatkan seorang pembantu rumah tangga, majikan di negeri jiran itu harus membayar 5.000 RM-6.000 RM (ringgit Malaysia) atau Rp 13,5 juta-Rp 16,2 juta kepada agen di Malaysia," tutur Khairuddin Harahap, warga Indonesia yang sudah 25 tahun tinggal di Kuala Lumpur dan mendirikan Tenaga Kerja Indonesia Jasindo Advokasi dan Perlindungan Devisi Malaysia.
Sebaliknya, selama ini pembantu rumah tangga asal Filipina sebelum dikirim ke luar negeri diberi latihan keterampilan dan dibina mentalnya. Keterampilan itu, antara lain, adalah mengoperasikan mesin cuci, menyetrika pakaian, termasuk jas, mengepel lantai, menerima telepon, memasak, menyajikan makanan, dan bahasa Inggris.
Perang persepsi
Persoalan yang menimpa TKI ilegal, menurut Tatang, menimbulkan "perang" persepsi antara Indonesia dan Malaysia. Indonesia yang menggunakan pendekatan perburuan berpandangan, meski ilegal, TKI sudah bekerja sehingga majikan wajib membayar gaji kepada TKI. Sebaliknya, Malaysia menggunakan pendekatan keimigrasian. Mereka beranggapan, tiap warga asing ilegal yang ada di negara itu harus segera dipulangkan ke negara asalnya. Tidak peduli gaji pekerja asing itu belum dibayar majikan. Perang persepsi itu tidak pernah terselesaikan.
Salah satu contoh, kasus Suryani. TKI asal Lombok, Nusa Tenggara Barat, itu, selain gajinya sebagai pembantu rumah tangga selama dua tahun tidak dibayar majikannya di Johor, dia juga diperkosa salah seorang anggota tim Rela (setingkat Hansip di Indonesia) dan kini hamil tujuh bulan.
Satgas Pelayanan dan Perlindungan WNI lalu melaporkan kasus Suryani itu kepada Departemen Luar Negeri dan Kepolisian Malaysia. "Namun, kedua instansi itu malah meminta KBRI segera mendeportasi Suryani karena termasuk warga asing ilegal," ujar Tatang.
Yang menyakitkan lagi adalah majikan sering memanfaatkan status ilegal itu untuk memberi gaji yang rendah, termasuk tak membayar upah TKI. Jika TKI yang bersangkutan meminta haknya, malah diancam dilaporkan kepada polisi atau imigrasi. Sebagai pendatang ilegal, mereka hidup serba tidak tenang sebab diincar polisi, petugas imigrasi, dan petugas Rela.
Padahal, sesuai Undang-Undang (UU) Perburuhan Malaysia, diberlakukan larangan bagi warga di negara itu menampung atau mempekerjakan pekerja asing ilegal. Sanksinya denda berkisar 10.000 RM-15.000 RM.
Namun, implementasi terhadap UU itu masih nihil. Majikan dan aparat penegak hukum di negara itu berkolusi dengan mengorbankan TKI ilegal.
Menurut Wakil Duta Besar RI untuk Malaysia AM Fachir, Malaysia selalu menerapkan standar ganda terhadap pendatang ilegal. Di satu sisi, mereka memberlakukan aturan yang melarang penggunaan pekerja ilegal. Pada sisi lain Malaysia tetap membiarkan pekerja asing ilegal masuk dan bekerja di negara itu.
Kelonggaran aturan itu dimungkinkan karena dengan menggunakan pekerja asing ilegal, upah buruh dapat ditekan lebih murah, tetapi produktivitas perusahaan tetap tinggi. Jika tidak dibutuhkan lagi, pekerja itu dapat dipulangkan setiap saat ke negara asal tanpa membayar upah.
"tulah jawaban mengapa TKI ilegal semakin banyak di Malaysia. Mereka (majikan) memanfaatkan ketidakberesan dalam pengiriman TKI di Indonesia," kata Fachir yang kini menjadi Duta Besar RI untuk Mesir.
Kontribusi besar
Saat ini pekerja Indonesia yang bekerja secara legal di Malaysia tercatat 1,2 juta orang. Ada yang menjadi buruh tani pada perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet, buruh pabrik, buruh bangunan, dan pembantu rumah tangga. Akan tetapi, ada ribuan orang lain sebagai tenaga profesional yang bekerja di perusahaan minyak Petronas, industri penerbangan, dosen, perusahaan rotan, dan mebel kayu. Yang ilegal sekitar 800.000 orang.
Kehadiran TKI itu sebenarnya telah memberi kontribusi besar dalam pembangunan ekonomi di Malaysia. "Kalau tanpa TKI, Malaysia takkan mungkin menjadi negara produsen minyak sawit dan karet terbesar di dunia sebab yang bekerja di perkebunan mayoritas TKI," kata Alex Ong dari Migrant Care Malaysia.
Salah satu bukti, kejadian tahun 2004 saat dilakukan pemulangan TKI ilegal secara besar-besaran dari Malaysia. Perkebunan kelapa sawit di Lembah Kelang, misalnya, menderita kerugian sekitar 1,5 juta dollar AS per hari sebab tidak ada pekerja untuk membersihkan lahan, memetik, mengangkut, dan mengolah tandan buah segar.
Contoh lain, menurut Alex Ong, kehadiran pembantu rumah tangga dari RI membuat sebagian besar perempuan di Malaysia yang telah berkeluarga dapat melanjutkan kariernya. Dengan bekerja kembali di perusahaan, mereka mendapat penghasilan sekitar 10.000 RM per bulan. Itu berarti pendapatan keluarga mereka meningkat.
Uang itu dibelanjakan untuk keperluan rumah tangga. Kegiatan itu memberi efek domino yang besar bagi pergerakan ekonomi di Malaysia. "Saya memperkirakan efek dominonya mencapai 20 kali lipat," ujar Alex Ong.
Bagi sebagian orang Indonesia, tidak menjadi TKI berarti tambah merana sebab di dalam negeri tidak tersedia lapangan pekerjaan. Bekerja di Malaysia pun belum tentu diperlakukan manusiawi. Sebaliknya, bagi warga Malaysia, tanpa TKI hidup mereka dan aktivitas sektor riil negara itu pasti keteteran. Sungguh sebuah pilihan yang dilematis. Ibarat ditelan pahit, dibuang sayang. (ton/jan)