Senin, 26 Mei 2008

"Now we will speak for ourselves"

Grassroots migrants set to launch global formation in June 2008
"For many years, many have spoken on our behalf. This time, we will speak for ourselves."

This was declared by Eni Lestari, spokesperson of the Asian Migrants Coordinating Body (AMCB-HK) as migrant workers in Hong Kong and in other countries gear up for the founding assembly of the International Migrants Alliance or IMA on June 15 and 16 in Hong Kong. Lestari is one of the lead convener’s of the IMA representing the Association of Indonesian Migrant Workers (ATKI) in Hong Kong.

Already 121 individuals from 97 organizations and 24 countries have confirmed their participation in this historic event.

Other conveners of IMA include the Turkish group called ATIK-Europe; Migrante-Canada, Migrante-Europe; Migrante International in the Philippines; May 1st Coalition for Immigrant Rights-USA; PhillForum-USA; and TENAGANITA Malaysia.

Lestari relayed that the presence of a vibrant movement of migrant workers in Hong Kong played part in the decision to hold the IMA assembly in the said territory.

“Successful campaigns were launched by migrant workers in Hong Kong and the migrant movement here is considered as one of the biggest and most active in the world. Hong Kong is one of the focal points when it comes to the gravity of the migrants’ situation and migrants’ resistance,” she added.

There are about 250,000 migrant workers in Hong Kong and almost 90% of them are women working as domestic workers.

The upcoming assembly will be hosted by migrant organizations under the Asian Migrants Coordinating Body (AMCB-HK) as well as some NGOs in Hong Kong including the Asia Pacific Mission for Migrants (APMM), the Mission for Migrant Workers or MFMW and the Bethune House Migrant Women’s Refuge (BHMWR).

Meanwhile, Teresa Gutierrez of the May 1st Coalition in the USA relayed that the IMA was conceptualized due to the perceived need of creating a formation in the world that can represent people living and working in countries other than their home ones and create a common platform for them.

"To date, there are around 200 million migrant workers present almost every country in the world. They came mostly from countries beset with economic and political problems and they work in countries that are relatively well-developed. Despite the different countries of origin or sectors where they can be found, the common concerns on their situation in the host countries as well as with issues related to why they are forced to migrate exist," she added.

Sixty per cent of the world's migrants are to be found in developed regions. Most of the world's migrants reside in Europe (64 million), Asia (53 million) and Northern America (44 million). Almost one of every 10 persons living in the more developed regions is a migrant.

Connie Bragas-Regalado of Migrante International in the Philippines mentioned that among the topics up for discussion in the founding assembly include issues on wage, remittance, the General Agreement on Trade in Services (GATS) Mode 4, the war on terror and its impacts to migrant workers, on undocumented migrants, on women and violence, health and HIV/AIDS and other far-reaching social costs of forced migration.

Renowned advocate for the rights of migrants and Right Livelihood Award recipient Dr. Irene Fernandez shall keynote the event.

Regalado said that some of the upcoming programs of the IMA as soon as it is established is on the coming second Global Forum on Migration and Development to be hosted by the Philippine government in October as well as the advancement for the recognition of domestic work as work and thus entitled to the rights of workers indicated in various international conventions.

“The GFMD is a clear example of how governments talk about migrants and migration without taking into serious account the sentiments of the workers themselves,” she added.

Regalado reported that participating organizations in the IMA are also making preparations to confront the coming GFMD in Manila. She said that they will make sure that the GFMD in Manila shall not only hear those speaking for migrants but the sentiments of the migrants themselves.

“The time for the grassroots migrants, immigrants, refugees and other displaced people has arrived. The IMA shall make sure that their voices will never be discounted again,” Regalado concluded.#


Sabtu, 24 Mei 2008

Fajar Kesadaran dari Utara

Sabtu, 24 Mei 2008 | 00:39 WIB

Maria Hartiningsih dan Ninuk Mardiana Pambudy

Suaranya lantang ketika menjawab pertanyaan, mengapa tenaga kerja Indonesia di luar negeri sebagian besar ”hanya” bekerja sebagai ”pembantu” rumah tangga. ”Lowongan kerja yang ada hanya sebagai ’domestic helper’. Pertanyaan saya, mengapa negara tak menciptakan lapangan kerja yang memadai untuk rakyatnya?”

Dalam permainan catur, jawaban Eni Lestari Andayani (27), Ketua Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI) di Hongkong, itu ibarat sekakmat. Ia sangat peka terhadap bias-bias nilai di balik pertanyaan dan pernyataan orang. Ia juga tahu status pekerja rumah tangga, apalagi di negeri orang, dianggap rendah dan dikerjakan oleh perempuan tanpa pendidikan meskipun asumsi itu dapat dengan mudah dipatahkan.

”Yang harus dipertanyakan adalah perlindungan bagi jutaan buruh migran Indonesia meski ada undang-undang yang katanya melindungi,” ujarnya.

Jumlah buruh migran Indonesia (BMI) saat ini sekitar 3,5 juta yang legal, lebih dari sejuta lainnya ilegal, dan sekitar 76 persennya perempuan. Mereka berada di wilayah kerja ”3D”, dirty, difficult, dan dangerous (kotor, sulit, dan berbahaya).

Namun, dari jenis kerja itulah asal sebagian besar devisa dari remiten buruh migran yang mencapai Rp 35 triliun. Itu belum termasuk uang paspor sebesar Rp 105 miliar dan Rp 1 triliun uang asuransi.

”Rencananya target pengiriman BMI akan dinaikkan, dari 700.000 orang per tahun menjadi 1 juta orang. Negara-negara penempatan diperluas, dari 11 negara menjadi 25 negara,” lanjut Eni.

Eni berbicara dengan suara jelas dan tegas dalam diskusi publik ”Pemberdayaan Perempuan dalam Konteks Muslim” di Jakarta, beberapa waktu lalu, bersama Shadi Sadr dari Iran, Farida Shaheed dari Pakistan, dan Shui Jingyun dari China.

Dia memaparkan kondisi buruh migran Indonesia di Hongkong untuk isu lintas batas (cross border) dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang sangat baik.

Gambaran muram

Eni tahu, porsi buruh migran informal dan tak terampil (unskilled) akan dikurangi menjadi 30 persen dan target devisa dari sektor ini menjadi Rp 186 triliun pada 2009. Ia tahu peluang pasar kerja di luar negeri besar dan pengangguran tenaga kerja terdidik di negeri ini cukup tinggi. Namun, ia juga tahu, membalik gambaran profil BMI tidak semudah membalik telapak tangan.

Inilah gambaran muram yang ia dapatkan dari analisis teman-temannya, peneliti di Institute for National and Democratic Studies: dari 106,28 juta angkatan kerja Indonesia (data Badan Pusat Statistik Agustus 2006), 53,13 persen atau sekitar 56,47 juta adalah lulusan SD ke bawah. Hanya 5,62 persen atau 5,97 juta yang lulusan pendidikan tinggi, 2,44 juta di antaranya dari program diploma.

Dari populasi angkatan kerja itu, lebih dari 40 persen termasuk kategori setengah menganggur dan menganggur. Akan tetapi, ketiadaan data tenaga kerja kontrak jangka pendek (enam bulan-setahun) menyebabkan kategori ”bekerja” tidak termasuk unsur jaminan keamanan untuk terus bekerja (job security).

Perjuangan panjang

Eni adalah satu dari sekitar 120.000 BMI di Hongkong. Namanya sangat dikenal di kalangan aktivis buruh migran sampai di tingkat internasional. ”Majikan saya mendukung aktivitas saya,” ujar Eni.

Ia memimpin aksi-aksi BMI menuntut pelayanan dan perlindungan Pemerintah Indonesia karena ia paham betul akan hak warga negara. Aksi ribuan BMI di Hongkong setiap minggu membuat Konsulat Jenderal RI di Hongkong mencabut SE 2258–yang melarang BMI pindah agen tenaga kerja sebelum dua tahun pertama kontrak–yang dikeluarkannya. Keberhasilan itu menyusul keberhasilan upaya pembuatan paspor sehari jadi dan pembukaan pelayanan di Makau.

”Namun, perjuangan kami masih panjang,” tuturnya seraya menyebut overcharging, potongan gaji ilegal, praktik penahanan paspor, pelayanan bagi BMI pada hari Minggu, dan kontrak mandiri dengan syarat mudah bagi BMI.

Seluruh upaya itu dimungkinkan karena Hongkong mempunyai hukum perburuhan, yang meski mengandung kelemahan, tetap membuka ruang untuk kebebasan berekspresi dan menolak diskriminasi.

Eni tahu, banyak BMI terlibat sistem ijon karena perhitungan biaya penempatan tidak transparan dan perhitungan utang ditentukan oleh pihak pemberi utang. Sebagai contoh, biaya resmi penempatan di Hongkong adalah Rp 9,13 juta. Namun, aturan itu tak pernah berjalan. Biaya resmi itu naik menjadi Rp 16 juta karena masa ”pelatihan” diperpanjang, dari tiga bulan menjadi enam bulan.

Namun, kenyataannya biaya itu membengkak menjadi 21.000 dollar Hongkong atau sekitar Rp 25 juta (overcharging). Setiap BMI dipotong gaji selama 5-7 bulan atau sekitar 25 persen dari nilai kontrak dua tahun. Praktik agen itu sebenarnya menyalahi hukum ketenagakerjaan di Hongkong.

”Kecenderungannya malah setelah lunas potongan lima sampai tujuh bulan, lalu buruh di-PHK dan harus mulai dari awal lagi,” ungkap Eni, yang menduga ada provokasi agen di balik semua itu sehingga banyak BMI lari ke Makau.

Menurut Eni, Pemerintah Hongkong bahkan tidak mewajibkan adanya agen. ”Negara kita yang mewajibkan itu, katanya untuk melindungi,” lanjut Eni.

Namun, perlindungan yang diserahkan pada agen tenaga kerja, seperti tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, menurut dia, seperti pengesahan praktik perbudakan.

Transformasi

Eni berangkat ke Hongkong ketika usaha orangtuanya remuk diterjang krisis ekonomi mulai tahun 1997. Ia sempat mau menjadi buruh pabrik sebelum akhirnya memutuskan berangkat sebagai BMI ke Hongkong pada tahun 1999. Selama dua tahun pertama ia bekerja pada macam-macam majikan dan pernah tak menerima gaji.

Ia sempat tinggal di rumah singgah buruh migran di Bethune House ketika tak punya pekerjaan. Di situ kesadaran kritisnya dibuka oleh teman- temannya dari Filipina. Dari situ ia sadar bahwa nasib buruh migran hanya bisa bersandar pada perjuangan BMI. Ia mulai aktif melakukan pelatihan, konseling, aksi, dan membuat kajian-kajian kritis terkait dengan berbagai peraturan.

Eni dan kawan-kawannya sadar bahwa pelanggaran tak hanya terjadi di negara orang, tetapi bahkan di pintu terdepan kepulangan buruh migran ke Tanah Air.

”Mungkin dipikirnya buruh migran itu sumber uang ya,” tuturnya. ”Kami ini menabung saja susah. Kirim uang ke Indonesia Rp 1,5 juta cukup apa? Biaya hidup di sini makin mahal. Akhirnya kami terdorong memperpanjang terus.”

Eni tak tahu kapan ia pulang. Tetapi, kesadarannya telah sampai pada point of no return. Hongkong seperti menjadi pusat perlawanan buruh migran menuntut keadilan. Di situ matahari kesadaran telah terbit....


FPR Mengecam Kebrutalan Polisi di Kampus Unas

JAKARTA, FPR. FPR mengutuk tindakan brutal aparat kepolisian yang membubarkan paksa aksi mahasiswa yang dilakukan di kampus Universitas Nasional, Pejaten, Jakarta Selatan. Saat ini, tidak kurang 140 aktivis Unas ditangkap pihak kepolisian. Kejadian ini bermula dari aksi pengepungan aparat kepolisian terhadap kampus Universitas Nasional yang dilakukan sejak pukul 17.00 WIB.

Pengepungan ini mengakibatkan niat mahasiswa yang hendak menyampaikan aspirasi penolakan terhadap keputusan kenaikan harga BBM menjadi terhalang. Suasana memanas pada saat pemerintah dengan resmi mengumumkan keputusan kenaikan harga BBM. Sempat terjadi bentrokkan dengan kepolisian, namun mereda setelah beberapa aktivis Unas ditangkap kepolisian Resort Metro Jakarta Selatan.

Mahasiswa Unas melanjutkan aksi di jalan sekitar kampus dengan berorasi dan membakar ban. Pasca turunnya instruksi dari Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk membubarkan semua aksi yang menolak kenaikan harga BBM, polisi pun bergerak memburu massa aksi yang saat itu tengah berorasi di dalam kampus.

Akibat aksi brutal polisi, sebagian ruangan di kampus Unas mengalami kerusakan. Pecahan kaca berceceran di mana-mana. Beberapa ruang, termasuk ruang koperasi mahasiswa mengalami kerusakan. Anehnya, pasca penggerudukkan polisi, sebagian besar aset milik koperasi mahasiswa Unas justru hilang dengan hanya meninggalkan bekas-bekas penjarahan.

“Kami tidak sepenuhnya mempercayai keterangan polisi yang menyatakan telah menemukan aktivis yang membawa Molotov dan ganja. Sebaliknya, kami memandang pernyataan ini sengaja ditujukan untuk mendiskreditkan aksi menolak keputusan kenaikan harga BBM yang dilakukan mahasiswa Unas,” jelas Ridwan Lukman, Sekretaris Jenderal Front Mahasiswa Nasional (FMN).

Pasalnya, lanjut Ridwan, pada saat terjadi bentrok antara kepolisian dengan massa FRM, Rabu (21/5) lalu pun, polisi mengemukakan hal yang sama. Saat itu, massa FPR berada persis di samping massa FRM yang bentrok dengan polisi. Kami tidak melihat adanya pelemparan molotov sebagaimana dinyatakan polisi kepada media massa. “Bila ada lemparan itu, tentunya kamilah yang akan terkena akibat dari molotov itu,” jelas Ridwan.

FPR memang tidak terlibat dalam aksi mahasiswa di kampus Unas, karenanya kami tidak bisa memverifikasi kebenaran tuduhan polisi terhadap aktivis mahasiswa Unas yang membawa Molotov atau ganja itu sebagai tuduhan yang keliru. Di sisi lain, sebagai aparat keamanan, polisi memang berkewajiban memberantas peredaran narkoba.

Akan tetapi, bila ternyata tuduhan-tuduhan itu digunakan untuk mendiskreditkan aksi massa menolak keputusan SBY-JK kenaikan harga BBM, maka polisi sudah melampaui batasnya sebagai alat negara. Menjadikan isu-isu seperti narkoba untuk mendiskreditkan aksi pada hakikatnya membawa institusi polisi kembali ke jaman Orde Baru, yang hanya menjadi antek dari segelintir orang yang duduk di puncak kekuasaan, dan bukan alat Negara yang memanggul amanat luhur rakyat Indonesia,” tegas Ridwan.

“Topeng SBY-Kalla sebagai kaki-tangan imperialis dan rejim anti-rakyat semakin terkuak oleh adanya kejadian tersebut,” tegas Rudi. Kepolisian semestinya mengerti bahwa masalah yang menyebabkan terjadinya aksi di Kampus Unas sebenarnya berasal dari Istana Presiden.

“Sekali lagi, provokator dan biang kerusuhan yang sebenarnya adalah SBY-JK. Massa tidak akan melakukan aksi unjuk rasa memprotes keputusan kenaikan harga BBM bila tidak ada keputusan yang anti-rakyat seperti itu! Karenanya, tindakan Polda Metro Jaya yang memburu mahasiswa hingga ke dalam kampus yang dikatakan untuk memburu ‘perusuh’ sangat tidak bisa diterima!” tegas Rudi.

Oleh karena itu, FPR menuntut SBY-JK untuk;
1. Membatalkan kenaikan harga BBM!
2. Meminta maaf dan mengakui kesalahan secara terbuka kepada rakyat Indonesia!
3. Membebaskan seluruh aktivis yang ditangkap tanpa syarat!
4. Merehabilitasi kesehatan seluruh korban yang luka!
5. Mengganti seluruh infrastruktur kampus yang dirusak!
6. Mengembalikan dan mengganti seluruh asset mahasiswa dan asset kampus yang dirusak!
7. Mengadili dan menindak seluruh aparat keamanan yang terlibat dalam kericuhan di kampus Unas.

Informasi selanjutnya hubungi;

EMAIL : fpr1mei@gmail.com, fpr1mei@yahoo.co.id,
BLOG : http://fprsatumei.wordpress.com/


FPR Tuntut Pembatalan Kenaikan BBM

JAKARTA, FPR. Pengumunan Kenaikan Harga BBM sebesar rata-rata 28,7 persen oleh pemerintah, Jumat (23/5) petang lalu langsung disikapi dengan aksi unjuk rasa oleh Front Perjuangan Rakyat (FPR). Aksi dimulai di Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat tepat di depan Posko Utama Front Perjuangan Rakyat pada pukul 21.00 WIB.

Dalam aksi tersebut, sekitar 30 aktivis FPR melakukan orasi, membentangkan spanduk serta poster, dan meneriakkan yel-yel yang menolak keputusan kenaikan harga BBM. Aksi tersebut sempat memacetkan jalan Salemba yang saat itu tengah dipadati kendaraan bermotor.

Sempat terjadi keributan pada saat kepolisian berupaya membubarkan aksi. Dalam keributan tersebut, dua aktivis FPR, masing-masing Retno Dewi dari ATKI dan M. Burhanudin dari FMN ditangkap polisi. Tidak lama, Retno Dewi dilepaskan sementara M. Burhanudin tetap ditahan pihak kepolisian. Pembubaran dan penahanan aktivis, tidak membuat nyali FPR menjadi surut.

Setelah melakukan konsolidasi ulang, massa FPR bergerak menuju depan Istana Presiden untuk menyuarakan tuntutan yang sama secara langsung. Massa FPR tiba di halaman istana Presiden sekitar pukul 23.30 WIB dan langsung membuka aksi. Pihak kepolisian dari Polda Metro Jaya yang memang sudah disiagakan, bergerak cepat hendak membubarkan aksi.

29 Aktivis ditangkap

FPR berusaha bernegosiasi dengan aparat kepolisian. Pada awalnya, kep0lisian member kesempatan FPR untuk melakukan orasi selama satu jam, namun di tengah upaya negosiasi tersebut sejumlah aparat melakukan provokasi dengan menangkap negosiator FPR. Aksi ini memancing reaksi dari massa FPR lainnya yang berusaha mempertahankan kawan-kawannya yang tengah bernegosiasi. Namun upaya ini gagal karena polisi akhirnya memutuskan untuk mengangkut seluruh massa aksi pada malam itu.

Meski tidak ada perlawanan fisik dari massa FPR, namun polisi seperti biasa bertindak brutal dengan menendang dan memukul massa FPR yang tengah aksi. Akibatnya, tercatat, 29 aktivis FPR terpaksa menghabiskan satu malam di Mapolda Metro Jaya. Seluruhnya di-BAP dengan tuduhan melakukan aksi di luar prosedur. Di samping tanpa pemberitahuan, aksi tersebut juga dilakukan malam hari, yang dikatakan melanggar UU N0. 9 tahun 1998.

Penangkapan yang diawali dengan pemukulan dan aksi kekerasan fisik atas aksi damai FPR menunjukkan bahwa SBY-Kalla sama sekali tidak berniat memberi ruang kepada rakyat untuk menyuarakan aspirasinya secara langsung. Aksi tersebut memang dilakukan malam hari dan bisa menyebabkan pelaku aksi “terjerat” pasal-pasal ketentuan pelaksanaan unjuk rasa.

Namun massa FPR bersikukuh. Alasannya, pengumuman kenaikan harga BBM oleh pemerintah dilakukan malam hari. “Bila pengumuman kenaikan harga BBM dilakukan siang hari, kita pun akan melakukan aksinya di siang-hari!” jelas salah seorang aktivis FPR. Namun pihak kepolisian tidak mau peduli dan tetap menggiring 29 aktivis FPR ke tahanan Polda Metro Jaya.

Tetap Aksi

Meski 29 aktivis sudah ditahan, FPR tetap kembali menggelar aksi di depan Istana Presiden. Kali ini, jumlah massa yang ikut lebih besar, mencapai 100 orang. Dengan peralatan seadanya—karena peralatan aksi sudah disita kepolisian—massa tetap bersemangat menyuarakan tuntutan pembatalan kenaikan harga BBM, turunkan harga-harga kebutuhan pokok, naikkan upah, dan jalankan reforma agraria, sembari juga menyuarakan tuntutan pembebasan seluruh aktivis FPR yang ditahan di Mapolda Metro Jaya.

Aksi ini dikawal ketat pihak kepolisian. Tidak hanya itu, beberapa aparat kepolisian juga melakukan provokasi dengan maksud memancing keributan dengan massa FPR. Akan tetapi, massa tetap konsisten menyuarakan tuntutan-tuntutan pokok dan tidak mempedulikan provokasi aparat. Yel-yel seperti “batalkan kenaikan harga BBM!” “turunkan harga sekarang juga!” “SBY-JK Boneka Amerika!” dan “SBY-JK rejim anti-rakyat!” terus bergema.

Sebelum dibubarkan aparat keamanan, massa FPR membubarkan diri dan kembali ke Posko Utama di Sekretariat GMKI, Jalan Salemba Raya no. 10 Jakarta Pusat dengan maksud menyimpan tenaga untuk aksi-aksi di kemudian hari. Massa pun lantas bersiap melakukan aksi penyambutan kepada 29 aktivis FPR yang dikabarkan sudah akan dibebaskan Sabtu (24/5) petang.

Petang menjelang magrib, ke-29 aktivis FPR yang ditahan Polda Metro Jaya, sudah berada di Posko Utama FPR. Kedatangannya langsung disambut meriah oleh aktivis-aktivis FPR lainnya dengan menggelar mimbar bebas di halaman Posko. Dalam mimbar bebas tersebut, FPR kembali meneguhkan sikap, menuntut pembatalan kenaikan harga BBM, menuntut penurunan harga-harga kebutuhan pokok, menuntut dinaikkannya upah buruh, dan dijalankannya reforma agrarian sejati.

Tangkap SBY-JK!

Selain di Jakarta, penangkapan terhadap aktivis-aktivis FPR juga dilakukan di kota-kota lain di Indonesia. Di Surabaya, 5 anggota FPR ditangkap dan dipukuli polisi. Demikian juga di Malang, 6 orang aktivis (4 diantaranya anggota FPR) diamankan kepolisian. Selain itu, di Yogyakarta, 3 aktivis FPR juga ditahan kepolisian. Kesemuanya ditahan pada saat melakukan aksi menuntut pembatalan kenaikan harga BBM.

Aksi penangkapan dan kekerasan terhadap demonstran juga terjadi di beberapa kota lain di Jawa dan Sumatera. Gejala ini sesungguhnya menunjukkan kekalutan rejim SBY-JK menghadapi perlawanan rakyat. Aksi-aksi yang sesungguhnya merupakan aspirasi politik rakyat disikapi secara tidak beradab dalam bentuk pendekatan kekerasan yang melibatkan aparat keamanan.

Terlebih, ketika pernyataan Jusuf Kalla yang memerintahkan kepolisian untuk menindak seluruh aksi menolak keputusan kenaikkan BBM. Pernyataan ini menunjukkan dangkalnya kemampuan berpikir rejim yang seolah tengah berada ditepi jurang kekuasaannya. Merebaknya gerakan protes di hampir seluruh wilayah Indonesia menunjukkan politik SBY-JK sesungguhnya tidak bisa lagi diterima rakyat.

Menurut Koordinator FPR, Rudi HB Daman, mestinya yang ditangkap oleh kepolisian bukanlah massa yang melakukan aksi menolak keputusan kenaikan harga BBM, melainkan SBY-JK yang telah memprovokasi terjadinya aksi di malam hari. “Patut dicatat, aksi tersebut hanyalah reaksi atas kebebalan SBY-JK yang tidak mau mendengar suara-suara dari rakyat!”

Menurut rencana, FPR akan kembali melakukan aksi-aksi menolak kenaikan harga BBM mulai Senin (26/5) yang akan datang. Puncaknya akan dilakukan pada tanggal 1 Juni 2008 yang akan datang di depan Istana Presiden.***




Senin, 19 Mei 2008

Besok, FPR Gelar Aksi Serempak Tolak Kenaikan Harga BBM di Berbagai Kota

FPR [20/5] Front Perjuangan Rakyat (FPR) menyatakan menolak kenaikan harga BBM. Penolakan ini akan disampaikan dalam aksi massa yang dilakukan esok (21/5) di Jakarta. Aksi akan dimulai dari Bundaran HI pada pukul 09.00 WIB dan bergerak menuju Istana Negara. Kurang lebih 4.000 massa, dari berbagai sector seperti buruh, petani, miskin kota, perempuan, mahasiswa, dan lain-lain, akan turut dalam aksi tersebut.

Dalam siaran persnya, FPR menyatakan bahwa alasan kenaikan harga BBM yang direncanakan pemerintah sesungguhnya tidak bisa diterima. Tingginya beban subsidi BBM yang katanya mencapai 25 persen dari total dana APBN 2008 sesungguhnya masih jauh lebih kecil dibandingkan beban utang luar negeri. Selain itu, pemerintah pun sesungguhnya tidak harus menaikkan harga BBM untuk memberikan santunan bagi rakyat miskin dalam bentuk BLT.

“Masalah utama yang kita hadapi dari pemerintah Indonesia sekarang adalah ketidakberanian SBY-JK untuk memotong dana pembayaran utang dan cicilan utang luar negeri yang sebenarnya memakan lebih dari 40 persen APBN 2008,” tegas Rudi HB Daman, Koordinator FPR. “Dengan menaikkan harga BBM tanpa memotong pembayaran utang sama dengan mencabut subsidi bagi rakyat miskin Indonesia dan memberikannya kepada negara-negara pemberi utang yang kaya raya.”

RANGKAIAN protes yang meluas ke berbagai penjuru negeri, sesungguhnya menunjukkan kemuakkan Rakyat Indonesia atas politik energy SBY-Kalla yang tidak diabdikan bagi kepentingan rakyat Indonesia. Liberalisasi yang digenjot tinggi pasca krisis ekonomi 1997 hanya memperpanjang penjajahan minyak dan gas di Indonesia, memperburuk krisis energy di dalam negeri, dan memperhebat perampokkan kekayaan alam.

Terkait dengan penyaluran dana BLT yang persiapannya dimulai hari ini, FPR memandang bahwa BLT adalah upaya SBY-Kalla untuk membungkam keresahan rakyat. Dengan BLT, SBY-Kalla berusaha menyibukkan rakyat dengan pertentangan- pertentangan horizontal yang dipicu oleh ketidakadilan dalam distribusi dana bantuan tunai. “Pemberian BLT kepada sebagian keluarga miskin adalah taktik ‘belah-bambu’ SBY-Kalla. Sebagian diangkat, sebagian diinjak,” jelas Rudi.

Lebih lanjut, Rudi juga memandang melalui penyaluran BLT, pemerintah pusat berusaha “mendistribusikan” beban dan tekanan politik dari istana negara ke kantor-kantor kepala desa hingga rumah-rumah ketua RT dan RW. Beban politik bagi jajaran pemerintah terendah sudah barang tentu akan lebih berat dibandingkan pemerintah pusat. Jajaran pemerintah terbawah adalah pihak yang sudah pasti akan secara langsung berkonfrontasi dengan rakyat, baik dari mereka yang kecewa akibat kenaikan harga BBM maupun mereka yang marah karena tidak kebagian dana BLT.

FPR sendiri tidak menolak pemberian BLT kepada kaum miskin. Bagaimana pun pemerintah memiliki kewajiban konstitusional untuk menyantuni kaum miskin yang saat ini hidup dalam kesusahan dan kesengsaraan. Artinya, BLT atau santunan-santunan lain sejenis itu merupakan merupakan kewajiban pemerintah dan hak kaum miskin sebagai warga negara Indonesia.

Yang ditolak oleh FPR adalah mekanisme pelaksanaan BLT yang rawan konflik dan tujuan politik yang bersemayam dibalik rencana penyaluran BLT. Dalam hal mekanisme pelaksanaan BLT, penentuan kriteria keluarga miskin yang berhak mendapatkan santunan dana secara langsung dilakukan secara terpusat dan tidak mengindahkan keberagaman masyarakat Indonesia.

Oleh karena itu, FPR mengajak berbagai kalangan untuk turut serta dalam aksi unjuk rasa menentang kenaikan harga BBM. Perjuangan bersama lintas sektor ini menduduki peranan penting untuk memaksa pemerintah SBY-Kalla membatalkan niatnya untuk menaikkan harga BBM.***

Aksi FPR di Hongkong

Rencana pemerintah yang kembali akan menaikan harga BBM, akan memiliki dampak sangat besar bagi buruh migran dan anggota keluarga. Beban kehidupan yang dialami keluarga buruh migran akibat melambungnya harga-harga bahan pokok yang sudah terjadi akhir-akhir ini, dipastkan akan semakin berat ketika pemerintahan SBY-JK juga menaikan harga BBM.

Dua kali kenaikan harga BBM yang dilakukan sebelumnya oleh pemerintahan anti rakyat SBY-JK, yang berdampak langsung terhadap perekonomian rakyat, memaksa jutaan rakyat Indonesia , bermigrasi ke luar negeri untuk mencari pekerjaan agar dapat bertahan hidup.

Untuk itulah, Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia di Hong Kong (ATKI-HK), bersama komunitas rakyat Indonesia lainnya di Hong Kong, akan menggelar aksi penolakan kenaikan harga BBM, aksi ini sekaligus sebagai bagian dari aksi serentak nasional yang digalang oleh Front Perjuangan Rakyat (FPR) yang akan di gelar di 26 kota di Indonesia dan juga di Hong Kong.

Aksi menolak kenaikan harga BBM di Hong Kong akan dilaksanakan mulai pukul 11.00-12.00 WIB, Rabu, 21 Mei 2008 di Kantor Konsulat Indonesia di Hong Kong

Untuk informasi lebih lanjut, silahkan hubungi Eni Lestari +853-96081474, Ketua ATKI-HK




Tentang Front Perjuangan Rakyat (FPR)

FPR adalah aliansi organisasi-organisa si masyarakat sipil Indonesia yang pada awalnya dibentuk untuk merespon perayaan Hari Buruh se-Dunia 2008. FPR menyandarkan diri pada prinsip aliansi dasar klas buruh dan kaum tani sebagai komponen pokok perubahan sosial. Selain melakukan aksi-aksi, FPR juga menggelar diskusi-diskusi yang mengulas berbagai persoalan sosial di masyarakat. Dalam politiknya, FPR berpegang pada prinsip kebebasan dalam inisiatif dan kemandirian dalam politik.

Organisasi-organisa si yang bergabung dalam FPR:
Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI), Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia di Hongkong (ATKI-HK), Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Serikat Buruh Aspirasi Pekerja Indonesia (SB-API), Forum Buruh Cengkareng (FBC), Serikat Buruh Koas Eterna Jaya Industries (SBK-EJI), Front Mahasiswa Nasional (FMN), Gerakan Mahasiswa Keristen Indonesia (GMKI), Himpunan Mahasiswa Budhis Indonesia (HIKMAHBUDHI), Gerakan Mahasiswa Nasional Kerakyatan (GMNK), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Central Gerakan Mahasiswa Universitas Bung Karno (CGM-UBK), Sarekat Hijau Indonesia (SHI), Liga Pemuda Bekasi (LPB), Komite Pemuda Cengkareng (KPC), Arus Pelangi (AP), Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Univ. Bung Karno (GMNI UBK), Forum Pemuda Kota Bekasi (FORDASI), Gerakan Rakyat Indonesia (GRI), Aliansi Perlawanan Rakyat (APR), Kesatuan Buruh Transportasi Indonesia (KBTI), Serikat Pekerja Hukum Progresif (SPHP), Serikat Bajaj Jakarta (SEBAJA), Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), INFID, INDIES, LP3ES, MIGRANTCARE, UPC, UPLINK, PBHI Nasional.

Referensi : Rudi HB Daman (081808974078)
E-mail : fpr1mei@gmail. com, fpr1mei@yahoo. co.id
BLOG : http://fprsatumei. wordpress. com


Minggu, 11 Mei 2008

Berikan Pelayanan Penuh Bagi BMI di Hari Minggu dan Berantas Penahanan Paspor dan Kontrak Kerja

Lebih dari sebulan sudah PILAR dan GAMMI menggelar aksi-aksi didepan konsulat RI di Hong Kong, menuntut diberikannya pelayanan bagi BMI secara penuh di hari minggu. Namun sampai saat ini KJRI masih menutup mata atas tuntutan BMI tesebut.

“Pelayanan Konsulat secara penuh bagi BMI dihari minggu, adalah kebutuhanan yang tidak dapat ditunda lagi, disaat jumlah BMI di Hong Kong yang sudah mencapai 120.000, Konsulat tidak bisa menunda lagi tuntutan tersebut” ujar Yani dalam orasinya di depan Konsulat RI di Hong Kong, minggu 11/05/2008.

Yani Menambahkan “KJRI selalu beralasan bahwa tidak memiliki dana yang cukup untuk memberikan pelayanan tersebut, namun disisi lain, mereka mampu mengahmbur-hamburkan uang untuk mengadakan kegiatan menarik investor Hong Kong, untuk menanamkan Investasi di Indonesia yang digelar ditempat-tempat mewah”

Tuntutan untuk dibukanya pelayanan KJRI secara penuh bagi BMI di hari minggu, lahir dari kenyataan bahwa BMI diwajibkan oleh pemerintah Hong Kong untuk tinggal di rumah majikan selama 24 jam, BMI hanya memiliki hari minggu untuk dapat keluar dari rumah majikan mereka.

Menurut Eni Lestari, ketua ATKI-HK sekaligus koordinator PILAR. Ferri Adamhar, konsulat Jendral RI untuk Hong Kong sendiri telah mengatakan bahwa, uang kiriman BMI di Hong Kong berjumlah 8 trilyun Rupiah pertahunnya, angka ini jauh melampaui angka perdagangan Indonesia - Hong Kong, jadi tidak ada alasan KJRI menunda peningkatan pelayanannya bagi BMI.

“Pemerintah Indonesia hanya memperdulikan para pebisinis, bukitnya, mereka begitu memperhatikan para pebisnis termasuk agency, dengan memberikan banyak fasilitas, namun melupakan BMI yang terbukti telah berbuat banyak untuk perekonomian Indonesia” ungkap Eni

Eni Menambahkan “Sampai saat ini, tidak ada satupun Agency yang mendapatkan hukuman, terhadap praktek penahanan paspor dan kontrak kerja, dan juga pemotongan gaji BMI secara illegal. Namun disisi lain mereka enggan memberikan hak-hak yang seharusnya di nikmati BMI, sehingga BMI begitu menderita#

PILAR dan GAMMI
Anggota: Akhwat Gaul, Alexa Dancer, Al Fattah, Al Hikmah, Al Istiqomah Internasional Muslim Society, Al Ikhlas, Al Jamiatus Solehah, An Nisaa International Muslim Society, Arrohmah, Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI-HK), Birul Walidain, Borneo Dancers, Dance in Freedom (DIF), Forum Muslimah Al Fadhilah (FMA-HK), Ikatan Wanita Muslim Indramayu Cirebon (IWAMIC), Ikatan Wanita Hindu Dharma Indonesia (IWHDI), Java Dance, KREN Dancers, Nur Muslimah Shatín, Peace, Simple Groups, Terali Dancer, Wanodya Indonesian Club, Zaqia.



Siaran Pers IWORK: Segara Pulangkan Jenazah Sri Puji Astuti dan Usut Tuntas sebab Kematiannya !

Berantas dan Adili Jaringan dan Pelaku Trafficking !

Satu lagi Buruh Migran Perempuan Indonesia Asal RT 03 RW 04 Linggapura, Tonjong, Brebes, Jawa Tengah meninggal dunia di Arab. Sri Puji Astuti (38th) dikabarkan meninggal dunia di Rumah Sakit King Abdul Azis Jeddah tanggal 8 Mei 2008 lalu.

Sri Puji Astuti sebulan sebelumnya pernah memberi kabar kepada pihak keluarga bahwa ia dalam pelarian dari rumah majikannya karena tak tahan disiksa. Dan sempat ditangkap oleh Polisi Arab Saudi sebelum diserahkan ke sebuah penampungan milik orang Indonesia. Almarhumah juga sempat menceritakan bahwa di penampungan tersebut terdapat ratusan orang yang nasibnya serupa dengan dia. Sebelum di meninggal almarhumah mengeluhkan sakit di bagian uluhati akibat tendangan dan pukulan dari majikannya. Dipenampungan tersebut semua BMI yang ditampung dan dikenakan biaya sekitar 200 Real perhari sebagai ganti uang makan dan tempat tidur.

Kematian Sri Puji Astuti menambah panjang deretan kasus kematian BMI di luar Negeri. Antara January sampai dengan April 2008 ini Institute for Migrant Workers (IWORK) mencatat telah 45 BMI meninggal dunia. Ini semakin menunjukkan bobroknya sistem penempatan dan perlindungan BMI. BMI yang mendapat perlakuan tidak menyenangkan dan mendapat penyiksaan terpaksa harus melarikan diri dan tidak tahu harus kemana.

Akibatnya minimnya informasi dan perlindungan yang diterima oleh BMI, setelah mereka dapat keluar dari mulut macan banyak dari mereka yang terperangkap ke mulut buaya, di tampung kembali oleh agency untuk dijual kembali ke majikan baru dengan resiko yang sama atau di tampung oleh penampungan-penampungan illegal yang terindikasi melakukan tindak pidana Trafficking. Lemahnya pemantauan keberadaan BMI di Luar negeri oleh KBRI di Negara-negara tempat bekerja menyebabkan lemahnya perlindungan BMI ketika mereka bekerja. Padahal didalam undang-undang 37 Tahun 1999 pada pasal 18 – 21 dinyatakan tugas dari Perwakilan RI diluarnegeri yang antara lain melindungi dan membantu apabila WNI di Luar negeri menghadapi masalah hokum dan yang membahayakannya bahkan wajib memulangkan atas biaya Negara.

Untuk itu Institute for Migrant Workers dan Lembaga Bantuan Hukum Buruh Migran sebagai kuasa Hukum dari Keluarga Almarhumah Sri Puji Astuti menuntut :

1) Segera Pulangkan Jenazah Sri Puji Astuti

2) Berikan Hak-haknya sebagai Buruh Migran ; Gaji, Santunan dan Asuransi

3) Pemerintah harus meminta pihak kepolisian Arab Saudi mengusut Tuntas sebab kematian Almarhumah Sri Puji Astuti

4) Berantas penampungan-penampungan illegal sarang kejahatan Trafficking

5) Berikan Perlindungan yang menyeluruh kepada Buruh Migran

Jakarta, 10 Mei 2008

Yuni Asriyanti, S.H.I (0817256872)
Direktur IWORK LU Jakarta

Yudho Sukmo Nugroho, S.H (0818189964)
Direktur

Rabu, 07 Mei 2008

Pengorbanan "Pahlawan Devisa"

Kamis, 8 Mei 2008 | 01:19 WIB

Tangis bayi tiba-tiba menyeruak dalam sebuah pertemuan di Gedung Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuwait, Kamis (1/5) malam. Semula sang bayi tidak menangis karena merasa nyaman meskipun berada di antara kerumunan sekitar 150 tenaga kerja wanita yang kini ditampung di Gedung KBRI di Kuwait.

Namun, begitu mendengar suara orang berbicara melalui pengeras suara, bayi itu menangis kencang sehingga ibunya, yang juga TKW, terpaksa membawa anaknya keluar ruangan.

Si ibu tetap berusaha sumringah saat membawa anaknya yang masih balita itu keluar ruangan pertemuan. Sementara itu, Katem binti Karti, TKW lainnya, tetapi tidak bisa ikut dalam pertemuan tersebut karena masih sakit setelah berusaha melarikan diri dari rumah majikannya dengan cara meloncat dari lantai tujuh.

Para TKW di Kuwait umumnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Menurut Atase Tenaga Kerja KBRI di Kuwait, R Wisantoro, sebagian besar persoalan TKW karena gaji mereka tidak dibayar dan adanya perlakuan kasar dari majikan.

Bahkan, tidak jarang di antara majikan itu ada yang melakukan pelecehan seksual hingga pemerkosaan. Oleh karena itu, Gedung KBRI yang beralamat di Keifan, Blok 6 Al Andalus Nomor 29, Kuwait, menjadi tempat tujuan para TKW untuk melarikan diri dari majikan mereka.

Sumaryati (31), TKW asal Kampung Bakung, Kabupaten Pandeglang, Banten, terpaksa melarikan diri dari tempat kerjanya karena majikan dia pernah berusaha memperkosanya. ”Takut saya. Makanya, waktu mereka (majikan) masih pada tidur, pagi-pagi saya kabur. Saya kapok kerja di Kuwait,” katanya dalam nada tegas. Ia digaji 40 dinar Kuwait (KD) atau Rp 1,36 juta (1 KD = Rp 34.000) per bulan.

Dia terpaksa pulang dengan perasaan perih karena impian untuk mendapatkan gaji besar di Kuwait tidak bisa berlangsung lama, hanya enam bulan. Padahal, sepeninggal suaminya empat tahun lalu, Sumaryati harus menghidupi kedua anaknya yang masih kecil di kampung yang kini tinggal bersama neneknya.

Cerita para TKW yang berusaha melarikan diri dari majikan mereka sungguh sangat memilukan karena tak semua TKW bisa melarikan diri dengan mudah. Para TKW tidak bisa melarikan diri karena majikan mereka sering mengunci rapat-rapat pintu rumah untuk mencegah pembantunya kabur. Yang paling mengenaskan adalah pengalaman yang diderita Katem binti Karti. Sampai sekarang tulang belakangnya sakit parah.

”Kebetulan saya yang pertama merawat ketika pertama kali dia dibawa ke rumah sakit milik Pemerintah Kuwait,” kata Suprianto (37), perawat yang bekerja di rumah sakit. Dia juga adalah Ketua Perhimpunan Masyarakat Indonesia di Kuwait dan Bahrain (Perkibar), yang antara lain mengurus persoalan TKW.

”Pahlawan Devisa” itu datang ke Kuwait untuk mengadu nasib dengan berbekal dokumen resmi. Namun, karena melarikan diri, status mereka seolah- olah menjadi TKW ilegal karena paspor dan surat-surat lainnya dipegang oleh para majikan.

Memang tidak semua majikan di Kuwait mengerikan dan berlaku kasar kepada para pembantunya dari Indonesia. Sumaryati memang pernah akan diperkosa oleh majikan laki-lakinya, tetapi tuntutan dia untuk pulang ke Indonesia sudah dipenuhi majikan perempuannya.

Tak semua kisah TKW di Kuwait juga mengenaskan, tetapi ada pula yang menggembirakan. Misalnya, salah seorang TKW yang bekerja di keluarga kerajaan Kuwait. Suatu ketika TKW itu pulang ke Indonesia menggunakan maskapai Kuwait Airways dan duduk di kelas utama.

”Bahkan, TKW itu langsung diantar oleh salah satu anggota kerajaan hingga ke dalam pesawat,” ungkap Bambang Heru, warga negara Indonesia yang bekerja di Kuwait Airways. Pulang ke Indonesia untuk tiket bolak-balik (return) di kelas utama (first class) sebesar 700 KD atau Rp 23,8 juta per orang.

Benahi sistem rekrutmen

Duta Besar Indonesia untuk Kuwait dan Bahrain, Faisal Ismail, mengatakan, ”TKW di sini umumnya bekerja sejak mulai bangun sampai tidur. Sementara beban pekerjaan mereka sangat berat, apalagi para majikan di Kuwait umumnya mempunyai keluarga yang besar.”

Untuk mengurangi persoalan TKW di Kuwait, saran Faisal, proses rekrutmen TKW dan TKI di Indonesia sebaiknya dibenahi. ”Rekrutmen hendaknya bisa dilakukan secara lebih selektif dan diutamakan bagi mereka yang memiliki keahlian dan keterampilan khusus,” ujarnya.

TKW yang berusaha kabur ke KBRI di Kuwait sekitar 10 orang per hari. Untuk membantu menyelesaikan persoalan TKW, jelas Wisantoro, KBRI menyewa tiga pengacara di Kuwait untuk mengurus di pengadilan.

Namun, proses penyelesaian hukum di pengadilan Kuwait juga membutuhkan waktu lama, sementara TKW yang bermasalah pada umumnya ingin segera pulang ke Indonesia.

Padahal, ujar Wisantoro, kalau diproses hingga selesai, para TKW bisa memperoleh hak-haknya dan tidak menutup kemungkinan para majikan yang terbukti bersalah dikenai denda. (Tjahja Gunawan Diredja)

Senin, 05 Mei 2008

Hentikan Overcharging, Cabut Seluruh Peraturan yang Anti BMI. Tingkatkan Perlindungan dan Pelayanan Negara Kepada BMI

Pernyataan Sikap Memperingati Hari Buruh Internasional

Perekonomian dunia hari ini memasuki krisis yang terhitung paling buruk dalam sejarah ekonomi dunia. Depresi ekonomi dunia telah di ambang pintu menuju jurang krisis yang semakin dalam. Krisis energi, krisis finansial, krisis pangan dan krisis ekosistem lingkungan telah berpadu yang semakin menjelaskan wajah dunia di bawah perintah kekuasaan kapitalis monopoli dunia.

Kemiskinan dan kelaparan telah memicu berbagai kerusuhan sosial dan krisis politik yang telah merambah negeri-negeri bergantung seperti Afrika, Amerika Latin dan Asia. Forum G7 (Inggris, Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, dan AS) dalam bulan April 2008 ini, melahirkan komunike bersama untuk mengatasi defisit keuangan akibat krisis finansial yang kian tak teratasi dan krisis pangan yang telah mengoyak negeri-negeri miskin seperti di Haiti dan Kamboja. Ekonomi dunia.

Gejala yang paling jelas adalah apa yang tengah menimpa perekonomian Amerika Serikat sebagai negeri induk imperialisme dan hegemoni tunggal. Sejak semester kedua 2007, krisis finansial di Amerika Serikat belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Justru sebaliknya, semakin banyak perusahaan keuangan besar raksasa dunia "babak belur" karena kerugian besar dalam transaksi subprime mortgage, yang kemudian menular ke berbagai instrumen keuangan lainnya.

Betapa parah dampak krisis keuangan bagi perekonomian AS, hal itu tercermin dari pertemuan Federal Reserve, 18 Maret 2008, ".Penentu kebijakan The Fed menilai harga-harga yang berjatuhan di dalam negeri dan kekalutan pasar keuangan dapat mengarah kepada kecenderungan menurun yang jauh lebih hebat dan berlarut-larut daripada yang diperkirakan pada saat ini" (The Wall Street Journal, 9 April 2008). Situasi ini semakin menjelaskan, bagaimana teoritisi dan ekonom kapitalis seperti serdadu tua yang semakin ompong seiring dengan semakin tua dan sekaratnya kapitalisme itu sendiri.

Tak ada lagi keraguan bahwa perekonomian AS telah memasuki resesi. Pada triwulan I-2008 perekonomian AS hampir bisa dipastikan mengalami kontraksi, atau pertumbuhan negatif, dan akan berlanjut pada triwulan kedua. Proyeksi pertumbuhan ekonomi AS 2008 mengalami koreksi paling tajam. Persis setahun lalu, perekonomian AS tahun 2008 diproyeksikan tumbuh 2,8 persen, tetapi April tahun ini sudah terpangkas menjadi hanya 0,5 persen. Jumlah pengangguran juga meningkat pesat di AS. Mengingat sumbangan AS dalam perekonomian dunia masih dominan, yakni 25,5 persen pada tahun 2007, sudah barang tentu kemerosotan ekonomi di negeri kepala dari imperialis ini akan berimbas pada perekonomian dunia


Situasi Ekonomi-Politik di Indonesia

Sementara, bagi Indonesia, sebagai akibat dominasi imperialisme pimpinan AS tersebut yang dipadukan dengan sistem sisa-sisa feodalisme yang masih bercokol luas di pedesaan, penderitaan rakyat dari waktu kewaktu semakin hebat dan memerikan hati kita semua. Semua klas, sektor dan golongan mayoritas rakyat berada dalam himpitan beban ekonomi dan represi politik yang semakin tinggi. Selain pukulan-pukulan pada beban ekonomi dengan melambungnya sejumlah harga bahan-bahan pokok rakyat, seperti beras, terigu, minyak goreng, minyak tanah dan kedelai, seluruh rakyat tertindas mengalami hambatan-hambatan dan tekanan-tekanan kebebasan berorganisasi dan didalam menyampaikan pendapat di muka umum. Situasi ini menjelaskan dasar bagi potensi dan tendensi fasisme dari rezim SBY-Kalla akan terus mengalami peningkatan.

Rezim SBY-Kalla semakin menunjukkan watak reaksionernya terhadap rakyat dan meningkat watak kompradornya terhadap kepentingan kapitalisme monopoli internasional. Berbagai kebijakan yang dikeluarkannya, untuk semua kelas, sektor dan golongan rakyat tertindas lainnya semakin memperhebat penderitaan secara ekonomi dan politik.

Klas buruh dipaksa menerima sistem politik upah murah, kerja kontrak dan outsourching, Jam kerja panjang, PHK dan berbagai perundang-undangan yang mencerminkan kebijakan anti-buruh, serta tekanan-tekanan terhadap kebebasan berserikat dan berpendapat. Sementara kaum tani, dari waktu ke waktu dihadapkan dengan ancaman perampasan tanah (land grabbing) akibat perluasan perkebunaan skala besar, perluasan areal eksplorasi pertambangan, dan kehutanan yang dilegitimasi melalui berbagai produk perundangan seperti UU Penanaman Modal, UU Perkebunan dan UU Kehutanan.

Situasi inilah yang telah menimbulkan meluasnya sengketa antara kaum tani dan masyarakat pedesaaan dengan pemerintahan SBY-Kalla. Dimana, dalam sejumlah peristiwa yang ada, kaum tani selalu menjadi pihak yang paling menanggung beban dan kerugian baik secara materil maupun non materil. Banyak kalangan dari kaum tani yang ditahan, ditangkap, dipenjarakan, dan menerima serangkaian tindakan teror dan intimidasi. Disamping itu, kaum tani juga dihadapkan oleh berbagai sistem pertukaran dan distribusi hasil-hasil pertanian yang tidak adil. Tiadanya proteksi maupun perlindungan terhadap produk pertanian dalam negeri serta pencabutan subsidi atas beberapa sarana produksi pertanian, mulai dari pupuk, obat-obatan hingga benih adalah sejumlah persoalan yang dimaksudkan. Oleh karenanya secara keseluruhan, akibat soal-soal tersebut, kedaulatan pangan nasional telah hancur dan sepenuhnya berada dalam kontrol kepentingan imperialisme.



Kondisi Buruh Migran Indonesia

Gempuran badai krisis yang menghantam perekonomia dunia yang langsung berimbas pula pada negera-negara jajahan dan setengah jajahan seperti Indonesia, menghamparkan penderitaan yang semakin mendalam bagi rakyat, terutama kaum tani dan klas buruh. Kesulitan rakyat untuk mencari penghidupan dan membengkaknya angka pengangguran, dijawab pemerintaan SBY-Kalla dengan mengekspor rakyat Indonesia ke luar negeri, untuk memenuhi kerakusan sistem kapitalisme dunia terhadap buruh murah dan mencoba meredam persoalan krisis ekonomi-politik dalam negeri yang semakin ganas.

Hingga tahun 2009, rezim penjual rakyat SBY-Kalla menargetkan peningkatan ekspor tenaga kerja (labour export program) dari 700.000 orang pertahun menjadi 1.000.000 orang, diikuti dengan peningkatan target penerimaan negara dari sekitar 35 trilyun rupiah menjadi sekitar 182 trilyun rupiah pertahunnya.

Dibentuknya BNP2TKI dan dilimpahkannya seluruh tanggung jawab penempatan BMI kepada pihak swasta, bukan hanya membuat semakin agresifnya pembukaan pasar-pasar buruh murah baru di tingkat Internasional dan mobilisasi besar-besaran rakyat Indonesia ke luar negeri, namun juga membuat buruh migran mengalami penghisapan dan penindasan berganda.

Trend hari ini, kebutuhan pasar Internasional buruh murah, didominasi oleh sektor domestik atau pembantu rumah tangga, kebutuhan pasar tersebut membuat mobilisasi besar-besaran buruh migran perempuan dari negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Hal ini membuat kaum perempuan semakin terdomestikan yang membuat perempuan semakin terdiskriminasikan baik secara politik, ekonomi dan budaya.

Selain itu, hingga saat ini, belum ada instrument kebijakan baik ditingkat internasional maupun nasional, yang mengatur posisi pembantu rumah tangga. Pembantu rumah tangga bahkan tidak masuk dalam kategori buruh. Hal ini semakin jelas menunjukan bagaimana penghisapan dan penindasan berganda dialami oleh buruh migran.

Hal ini lah yang membuat buruh migran Indonesia (BMI) berada dalam sistem kerja yang lebih dekat dengan sistem kerja perbudakan. Setiap hari BMI selalu bergulat dengan persoalan pemerasan atas nama biaya penempatan yang sangat mahal (overcharging), potongan gaji illegal, kondisi kerja yang tidak manusiawi dan berbahaya, penyanderaan paspor, kekerasan fisik dan seksual hingga kematian, mengalami diskriminasi oleh peraturan negara setempat, tidak mendapat perlindungan dan pelayanan yang cukup dari perwakilan pemerintah RI, dan penipuan oleh agen.

Atas dasar itulah, untuk memperingati hari buruh Internasional, Persatuan BMI Tolak Overcharging bersikap:



Kepada Pemerintah Hong Kong

1. Naikan Upah dan Hapus Pajak
2. Cabut seluruh peraturan yang anti buruh migran, termasuk NCS


Kepada Pemerintah Indonesia

1. Stop Overcharging dan Potongan Gaji Ilegal
2. Bubarkan Terminal 3
3. Buka pelayanan hari minggu bagi BMI di Hong Kong

Sekaligus PILAR menyatakan akan bergabung dalam Perjuangan Buruh, Tani dan seluruh elemen demokratis rakyat di Indonesia, untuk memperjuangkan demokrasi sejati di Indonesia

Hong Kong, 1 Mei 2008



--
Persatuan BMI Tolak Overcharging
(PILAR)
c/o APMM, G/F No2, Jordan Road, Kowloon, HKSAR


TKI di Malaysia Dituduh Bunuh Anak Majikan

Sinar Harapan, Sabtu, 03 Mei 2008--Kota Kinabalu - Seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) didakwa di Pengadilan Sesi Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia karena secara tidak sengaja menyebabkan kematian asuhannya yang berusia dua tahun. Demikian kabar yang dilansir The Borneo Post, Sabtu (3/5).

Mariska Pugel (23) dituduh menyebabkan kematian Cecelia Yvonne Lulie Ak Jame secara tidak sengaja di rumah majikannya di Blok Seraya F01-03-18 di Taman Putrajaya, Telipok antara pukul 8 pagi hingga 11 pagi pada 24 April tahun ini. Terdakwa tidak memberikan pernyataan (plea) di hadapan Pengadilan Restah Lepos.

Sidang selanjutnya dijadwalkan 12 Mei. Pengadilan memerintahkan Mariska diproses lebih lanjut di bawah Undang-Undang Tindak Pidana pasal 259 atas permintaan Jaksa Penuntut ASP Sabrina Jinius. Belum ada pengacara yang mewakili Mariska. Dia diancam hukuman penjara maksimal 10 tahun ditambah denda jika terbukti bersalah di bawah dakwaan pasal 304 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Menurut Sabrina, Jaksa Penuntut, ibu Cecelia menerima telepon Mariska yang mengatakan putrinya tidak bangun untuk makan siang. Menduga sesuatu telah terjadi, majikan perempuan Mariska tersebut langsung pulang dan membawa anaknya ke Rumah Sakti Queen Elizabeth.

Namun, putrinya dinyatakan telah meninggal oleh dokter. Mariska telah bekerja pada keluarga tersebut selama tujuh bulan, langsung ditangkap pada hari itu juga dengan tuduhan terlibat dalam kematian Cecelia. Sementara itu, Konsul Jenderal Indonesia di Sabah masih belum bisa dikonfirmasi mengenai peristiwa tersebut. (natalia santi)

Mayday: Masih Belum Membaik Nasib Buruh Migran Indonesia

Sosial Budaya | 01.05.2008--Para tenaga kerja di luar negeri merupakan roda penggerak perekonomian keluarga, sekaligus perekonomian negara. Tapi sepertinya nasib mereka tidak terlalu diperhatikan.

Beberapa kasus kekerasan dan penipuan yang terjadi belakangan memperlihatkan masih belum adanya apresiasi bagi kontribusi para buruh migran. Begitu banyak kasus-kasus kekerasan menimpa tenaga kerja Indonesia TKI yang belum tuntas. Misalnya kasus penyelundupan TKI yang menjadi korban perdagangan manusia ke Irak. Belum lagi kasus-kasus penyiksaan, misalnya yang menimpa Ceriyati. Kemudian vonis bersalah namun tanpa sanksi hukum bagi majikan Nirmala Bonat yang disiksa majikannya di Kuala Lumpur. Lalu kasus pembantu Yanti Iriyanti yang meninggal di Arab Saudi. Serta penderitaan beberapa TKI seperti Siti Zaenab dan kawan-kawan yang menunggu nasib di tiang gantungan. Timur Tengah masih menempati ranking tertinggi kasus-kasus yang menimpa buruh migran Indonesia.

Buruh migran perempuan, biasanya yang lebih menderita nasibnya. Mereka kerapkali lebih dibatasi untuk bergaul. Demikian dikatakan Chairi, seorang supir di Riyadh:

"Laki-laki masih bisa menyampaikan unek-unek pada teman. Tapi yang perempuan, mana bisa keluar. Untuk beli telefon genggampun terkadang tak diperkenankan."

Bukan hanya masalah pergaulan atau gaji, melainkan juga kasus-kasus pelecehan seksual. Seperti diceritakan oleh seorang TKI di Jedah, Nasri Mansyur: "Sampai dari Indonesia baru 15 hari langsung kabur karena diganggu anak majikan. Masalahnya adalah pelecehan seksual. Ditangkap oleh supir taksi, kemudian dijualbelikan, sampai mati, dibuang ke tong sampah, itu yang terjadi."

Kisah lain disampaikan Dhofri Azahari, seorang pekerja di Riyadh, Arab Saudi. Ia menceritakan baru-baru ini ada kawannya yang menolong TKI yang diperkosa. Namun karena si penolong tidak berdokumen lengkap, maka penolong yang terkena masalah.

"Banyak yang telantar. Mengadu kepada pihak berwajib di sini tampaknya tidak berguna. Ada pemerkosaan, kemudian diambil orang, ditolong. Namun ternyata yang menolong malah dipersalahkan."

Para buruh migran pria yang ingin menolong rekan-rekannya buruh migran perempuan, akhirnya terkadang merasa kesulitan. Bahkan untuk menolong istri sendiri. Seperti dipaparkan Chairi, seorang supir pribadi yang bekerja di Riyadh: "Istri saya saja melapor ke saya. Kerjaan ini belum beres sudah harus mengerjakan yang lain. Kadang saya hampir naik darah, namun terpaksa saya tidak perlihatkan kepada dirinya. Saya lembutkan hatinya, agar bilang baik-baik pada majikan, bila satu kerjaan selesai baru bisa menyelesaikan yang lain."

Bukannya mereda, kasus-kasus yang dialami oleh para buruh migran Indonesia di Timur Tengah, dari waktu ke waktu malah semakin meningkat. Demikian data yang dihimpun oleh Perhimpunan untuk Buruh Migran Berdaulat, yang disampaikan oleh Wahyu Soesilo, pegiat hak buruh migran dari organisasi Migrant Care:

"Ada peningkatan kasus lebih dari 100 persen sepanjang tahun 2007 dibanding tahun 2006. Tahun 2006 ada 36 ribu kasus, sementara tahun 2007 ada 80 ribu kasus."

Kasus-kasus yang menimpa buruh migran Indonesia di manca negara bukan hanya terjadi di Timur Tengah. Baru-baru ini seorang buruh migran asal Grobogan, Jarwati, tewas di Singapura, akibat terjatuh dari gedung bertingkat kala membersihkan jendela.

Organisasi Migrant Care hingga kini masih menyuarakan desakan agar pemerintah mau membuka mata dan mengulurkan tangan bagi para pekerja migran. Migrant Care berharap agar pembantu rumah tangga migran diakui sebagai pekerja formal yang dilindungi hukum. Migrant Care juga meminta agar pemerintah segara menyelesaikan kasus-kasus kekerasan yang telah menimpa para tenaga kerja di manca negara, seperti kasus Ceriyati, Nirmala Bonat, para TKI yang terjebak di negara yang dililit konflik, kematian TKW dan lain-lain.

Di luar itu pemerintah juga dituntut mencabut produk-produk hukum nasional dan regional yang diskriminatif dan meligitimasi praktik kekerasan terhadap pekerja migran. Tidak ketinggalan tuntutan agar dihapuskannya terminal khusus bagi kepulangan buruh migran Indonesia, agar tidak terjadi lagi kekerasan dan pemerasan. Dan yang terpenting, pemerintah menerbitkan peraturan bilateral dan regional yang protektif bagi perlindungan pekerja migran.

Ayu Purwaningsih

Jumat, 02 Mei 2008

Workers seek better living standards on Labor Day



Enny Lestari, Ketua ATKI-HK dan jurubicara PILAR-GAMMI berorasi depan Istana Negara

The Jakarta Post, Jakarta|Fri,05/02/2008 1:33PM| Headlines

Workers and students across the country took to the streets Thursday to commemorate International Labor Day.

In Bandung, West Java, workers from industrial centers in Bandung, Cimahi and surrounding cities held rallies on Wednesday and Thursday. They demanded the government press ahead with the revocation of the 2003 law on labor, which they said harmed workers' interests with its outsourcing and contract systems.

Members of labor organizations and students protested together in front of the gubernatorial and legislative offices at the Gedung Sate complex on Jl. Diponegoro.

In Bandarlampung, Lampung, Labor Day was observed by members of labor unions grouped in the People's Struggle Front, who took part in a five-kilometer march from Taqwa Mosque to Gajah Monument in the city center.

They demanded the government intervene to bring down the prices of basic goods, subsidize education and healthcare, raise the minimum wage, eliminate the contract system of work and outsourcing, and create more job opportunities.

In Makassar, South Sulawesi, workers criticized the leadership of President Susilo Bambang Yudhoyono and Vice President Jusuf Kalla, saying their policies disfavored the poor and workers.
They also blamed the government for soaring food prices and for policies they said hurt businesses and forced them to lay off employees.

In Surabaya, East Java, thousands of workers from different labor unions affiliated with the People's Struggle Front, together with students, demonstrated at a number of different sites in the city.
The nearly simultaneous rallies called for improved living standards for workers.

In Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam, scores of labor activists paraded around the city.

They demanded the Aceh provincial administration double the monthly minimum wage from Rp 1 million (US$110) to Rp 2 million, to allow workers and their families to lead decent lives.

In Batam, Riau Islands, labor groups rejected outsourcing and contract systems of work, as well as the 1992 law on Jamsostek workers' insurance, which they said deprived them of their labor rights.

In Yogyakarta, thousands of workers from different organizations took to the streets demanding the government curb the prices of staple goods.

"Our minimum wage is very low, while the prices of basic needs have skyrocketed, adversely affecting workers. Most of us are no longer able to make ends meet," one protester told the crowd.

The crowd responded with shouts of "Bring prices down immediately!"

In Medan, North Sumatra, there were no major rallies on Labor Day.

Workers said they did not organize rallies because Labor Day coincided with a national holiday, the Ascension Day of Jesus Christ.

However, the previous day workers protested at several different locations in the city, including the governor's office, the legislative building and the Medan District Court. They demanded the government raise wages and improve their living standards.

Kamis, 01 Mei 2008

FPR dan ABM Tuntut SBY-Kalla Turunkan Harga





FPR-Jakarta (Mayday, 1/5)—Front Perjuangan Rakyat (FPR) dan Aliansi Buruh Menggugat (ABM) menggelar panggung bersama peringati hari buruh se-dunia (Mayday) di depan Istana Negara. Tema Mayday 2008 ini adalah menuntut SBY-Kalla menurunkan harga sembako, naikkan upah, hapus outsourcing dan sistem kerja kontrak, tolak overcharging dan perbudakan utang terhadap buruh migran Indonesia, bangun industri nasional, dan laksanakan reforma agraria sejati.

Perayaan tersebut diisi dengan aksi turun ke jalan ribuan buruh yang juga disertai dengan elemen-elemen dari massa kaum tani, buruh migrant, pemuda mahasiswa, perempuan, korban pelanggaran HAM, kaum LGBT, dan elemen-elemen lainnya.

Pawai mayday dimulai dari bundaran HI. Massa telah berkumpul sejak pukul 09.00 WIB dan baru beranjak menuju Istana Negara sekitar pukul 11.30 WIB. Ribuan massa buruh dan elemen masyarakat lain yang mengikuti pawai Mayday 2008 memadati dua ruas jalan MH. Thamrin, Jakarta Pusat menuju Istana Presiden. Suasana mendung menyebabkan cuaca siang itu tidak terlalu panas dan relatif bersahabat bagi massa aksi.

Pawai dibuka dengan orasi pembukaan yang dilakukan bersama oleh ABM dan FPR. Massa bergerak dengan tertib menuju istana. Di sepanjang jalan, yel-yel yang menyerukan persatuan buruh dan tani serta tuntutan-tuntutan aksi, disuarakan oleh massa aksi. Tidak ada hambatan yang berarti. Aparat keamanan dari Polda Metro Jaya bertindak kooperatif dengan memberikan jalan bagi massa untuk bergerak menuju Istana.

Massa aksi tiba di depan Istana negara sekitar pukul 13.00 WIB. Sesaat setelah mempersiapkan teknis lapangan, aksi di depan istana negara dibuka secara bersama oleh Koordinator Aliansi Buruh Menggugat (ABM), Anwar Ma’ruf dan Koordinator Front Perjuangan Rakyat (FPR), Rudi HB Daman.

Dalam orasinya, Anwar Ma’ruf menyatakan bahwa rejim yang memimpin Indonesia saat ini adalah perwujudan dari penjajahan gaya baru, yakni penjajahan kaum pemodal yang menindas, menghisap, dan menyengsarakan rakyat. PHK, outsourcing, politik upah murah, dan system kerja kontrak adalah akibat dari rapuhnya struktur industry Indonesia.

“Karenanya, kita memaksa pemerintah untuk membangun industry nasional yang tangguh. Industri yang terintegrasi dari hulu ke hilir dan mengabdi pada pemenuhan kebutuhan nasional!” tegas Anwar.

Sementara Rudi HB Daman dalam orasi pembukaannya menyatakan bahwa kenaikan harga-harga energy dan pangan yang melambung tinggi adalah akibat dari adanya liberalisasi di berbagai sektor. Privatisasi dan penjualan aset-aset sumberdaya produktif rakyat ke perusahaan-perusahaan asing monopoli adalah penyebab dari gagalnya semua program ekonomi Indonesia.

“Oleh karenanya, disamping mendesak dilaksanakannya pembangunan industry nasional yang kokoh, kita juga harus menuntut dilaksanakannya landreform sejati bagi kaum tani sebagai modal dasar pembangunan ekonomi nasional yang mandiri dan berkedaulatan rakyat,” tegas Rudi.

Setelah pembukaan, perwakilan dari organisasi-organisasi yang bergabung dalam ABM dan FPR melakukan orasi secara bergantian. Orasi-orasi tersebut tidak hanya dilakukan oleh perwakilan dari serikat-serikat buruh, melainkan juga dari organisasi-organisasi sektoral lainnya, seperti buruh migran, aktivis lingkungan hidup, pekerja hukum, dan lain-lain yang tergabung dalam kedua wadah tersebut.

Kerjasama FPR dan ABM dalam Mayday 2008 ini menjadi simbol mengentalnya persatuan di kalangan rakyat. Persatuan ini menghadirkan ancaman yang mengerikan bagi kekuasaan SBY-Kalla. Pasalnya, persatuan tersebut hadir pada saat struktur ekonomi penopang kekuasaan SBY-Kalla mengalami kebangkrutan.

Bukan tidak mungkin, Mayday 2008 ini akan menjadi momentum yang membuka ruang terjadinya krisis politik di tengah krisis ekonomi Indonesia yang kian kronis. Sesungguhnya pemerintah dihadapkan pada satu pilihan, yakni berpihak kepada rakyat. Sebab, bila tetap bertahan dan selalu mengabdi pada imperialis, sudah pasti akan berhadapan dengan rakyat.***