"Mengapa pemerintah Indonesia tidak pernah memikirkan kesejahteraan kita, setelah kita dipaksa untuk meninggalkan keluarga dan kampung halaman karena tidak adanya lapangan pekerjaan di Indonesia, kita juga masih diperas dengan biaya penempatan yang sangat mahal"
Statement tersebut dilontarkan Eni Lestari, koordinator PILAR, dihadapan sekitar 300 massa buruh migran Indonesia (BMI) yang menggelar aksi didepan kantor konsulat RI untuk Hong Kong, Minggu 10/08 2008.
Aksi yang digelar Persatuan BMI Tolak Overcharging (PILAR) ini, sebagai respon terhadap dikeluarkannya SK Dirjen Binapenta No. 186/2008 tentang biaya penempatan untuk BMI tujuan Hong, yaitu sebesar Rp. 15.550.000 plus US$15 pada tanggal 10 Juli 2008.
"BMI Hong Kong telah berkali-kali melakukan protes terhadap komponen biaya penempatan yang sangat memberatkan BMI, lebih jauh BMI juga telah menghitung, seharusnya biaya penempatan maksimum hanya satu bulan gaji atau sebesar Rp. 3.900.000, tapi kenapa hanya usulan PJTKI yang selalu di setujui pemerintah" tandas Eni.
Eni juga menambahkan "pemerintah tidak pernah besungguh-sungguh melindungi warganya yang menjadi BMI, dalam perundang-undangan sudah jelas diatur biaya penempatan harus diatur oleh Menteri, lantas kenapa Dirjen Binapenta mengeluarkan keputusan biaya penempatan yang bukan wewenangnya."
Selain persoalan biaya penempatan, aksi yang digelar PILAR ini juga ditujukan sebagai bentuk protes terhadap Konsulat RI di Hong Kong, yang tidak melakukan tindakan apapun disaat ratusan ribu BMI terancam di PHK akibat peraturan baru pemerintah Hong Kong.
Efektif mulai 1 Agustus 2008, pemerintah Hong Kong menghapuskan sementara pajak sebesar HK$400 perbulan terhadap majikan yang memperkerjakan pembantu rumah asing, namun penghapusan tersebut hanya berlaku bagi pembantu asing yang memiliki visa setelah 1 agustus 2008, akibat kebijakan tersebut, banyak majikan yang berbondong-bondong mem-PHK pembantunya dan mencari pembantu baru untuk dapat menikmati bebas pajak.
Namun setelah mendapatkan protes keras dari buruh migran, akhirnya pemerintah Hong Kong juga memberikan kelonggaran bagi pembantu asing yang ingin mempercepat pembaharuan kontrak, dengan tidak perlu keluar Hong Kong dan proses pembaharuan Visa kerja dapat dilakukan satu hari bila dokumen lengkap.
Namun, kelonggaran peraturan yang diberikan pemerintah Hong Kong, tidak ditanggapi seragam oleh konsulat RI di Hong Kong yang dipimpin oleh Ferry Adamhar, walaupun terdapat lebih dari 100.000 BMI yang akan memperbaharui visa kerja pada waktu yang relatif bersamaan, namun pemerintah Indonesia tidak mau perduli, mereka bahkan memberikan kesempatan kepada agensi untuk mengeruk keuntungan lebih besar, melalui jasa pembaharuan visa kerja, karena BMI tidak diperbolehkan oleh konsulat Indonesia untuk mengurus visa kerja secara mandiri.
"Sangat tidak masuk akal, bagi BMI yang ingin memperbaharui kontrak secara mandiri, BMI diwajibkan memenuhi 13 syarat yang sangat tidak masuk akal, namun bila BMI mengurus melalui agensi, 13 syarat tersebut menjadi hilang, ini bukti pemerintah memang senagaja membuat BMI sengsara, dan agen berpesta fora" ungkap Eni.
Eni menambahkan "Mengingat ratusan ribu BMI di Hong Kong terancam di-PHK, dan disaat yang sama agensi mulai menggunakan kesempatan ini untuk mengeruk keuntungan yang besar, KJRI harus segera melakukan tindakan yang nyata untuk melindungi BMI, BMI akan merasa terbantu bila KJRI bisa mengesahkan dokumen visa kerja BMI tanpa 13 syarat yang tidak masuk akal itu, dan juga perlindungan dari keserakahan agen."
Aksi PILAR ini juag mendapatkan solidaritas dari organisasi buruh migran Filipina dan Thailand.
"Bila perlindungan yang mendasar seperti itu saja tidak bisa di berikan oleh KJRI untuk warganya, buat apa ada KJRI, pulangkan saja Ferry Adamhar ke Indonesia" tegas Eni#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar