Sabtu, 15 September 2007

KPK Beber 11 Potensi Korupsi Urusan TKI

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menguatkan dugaan masyarakat atas adanya ketidakberesan sistem pelayanan penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI). Hasil monitoring lembaga antikorupsi tersebut menemukan 11 kelemahan yang ujung-ujungnya bakal merugikan para TKI.

Ternyata, dalam pelaksanaannya (sistem TKI, Red), terjadi korupsi yang, walaupun nilainya tidak cukup signifikan, sudah termasuk kategori korupsi, ujar Ketua KPK Taufiequrachman Ruki dalam keterangan pers di gedung KPK Kuningan kemarin (28/8).

Temuan KPK tersebut, antara lain, masih adanya praktik suap dalam pengurusan dokumen TKI dan belum adanya standar baku pelayanan terhadap TKI (selengkapnya lihat grafis, Red).

Dia menyatakan, selain melaksanakan tugas yang diamanatkan UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK, kejadian tragis yang menimpa TKI akhir-akhir ini menjadi alasan bagi KPK untuk menguliti sistem pelayanan serta perlindungan TKI. KPK menganggap permasalahan TKI merupakan akibat lemahnya sistem. Mengapa KPK menaruh pehatian terhadap masalah tersebut? Terus terang, ini menyangkut harga diri bangsa. Sangat banyak ekses (akibat, Red) yang timbul akibat sistem pelayanan tenaga kerja yang kurang baik, tegas Ruki.

Temuan tersebut, kata dia, dipaparkan secara langsung kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Erman Suparno serta Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (PNP2TKI) Jumhur Hidayat.

Dia mengungkapkan, KPK juga merekomendasikan perbaikan. Yakni, pembenahan sistem yang meliputi manajemen SDM pemberi pelayanan, business process, infrastruktur, anggaran, serta peningkatan pengawasan dan penindakan. Jangan lantas apa-apa minta direpresi, ujar pria kelahiran Rangkasbitung, Banten, tersebut.

Bukan hanya kepada dua lembaga yang paling bertanggung jawab atas nasib TKI tersebut, hasil kajian KPK itu juga akan dikirimkan ke Depkum HAM terkait dengan soal keimigrasian, Departemen Luar Negeri, kepolisian, serta Departemen Perhubungan.

Menanggapi temuan KPK tersebut, Menakertrans Erman Suparno berdalih bahwa pihaknya telah mereformasi sistem penempatan dan perlindungan TKI yang bahkan pencanangannya dihadiri presiden. Bahkan, terbit Inpres No 6 Tahun 2006 (kebijakan reformasi sistem penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia) dalam rangka pembenahan sistem, jelasnya.

Selain itu, kata dia, pihaknya telah melakukan desentralisasi pengurusan dokumen ke daerah-daerah TKI agar bisa didapatkan secara murah, mudah, dan cepat.

Meski demikian, menteri yang juga kader PKB itu mengakui adanya kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan. Masih banyak yang perlu diperbaiki. Misalnya, masih ada suap kepada aparat-aparat yang sebetulnya (seharusnya, Red) melayani, juga pengawasan, katanya.

Soal perlindungan TKI dari majikan, menurut Erman, sudah ada persetujuan dengan negara-negara tujuan TKI. Dalam konteks perlindungan, attitude (sifat, Red) majikan sulit diprediksi. Siapa yang tahu kalau majikannya jahat, ungkapnya.

Perlindungan TKI dari kekerasan majikan masih seperti pemadam kebakaran. Menurut Erman, yang penting, kalau terjadi suatu kasus, pemerintah bisa cepat dan tegas menangani, bekerja sama.

Untuk pencegahan, dia mengungkapkan bahwa perlindungan bergantung masing-masing TKI. Kalau mau jadi calon TKI, daftarlah sesuai prosedur yang benar, berbiaya murah, kemudian didaftarkan di KBRI, sehingga tahu majikannya di mana, tegasnya.

Masih sebatas wacana, Kepala PNP2TKI Jumhur Hidayat mengungkapkan, pihaknya berencana membentuk lembaga monitoring, konseling, serta home visit bagi para TKI, khususnya di sektor informal atau rumah tangga. Itu membebankan majikan agar TKI bisa dikunjungi atau ditelepon. Tapi, masih dibicarakan dengan Deplu dan Depnakertrans soal bentuk lembaganya, katanya. (ein)

Sumber: Jawa Pos, 29 Agustus 2007

Tidak ada komentar: