Senin, 10 September 2007

Menjadi Pekerja Migran

Dalam salah satu laporannya, Organisasi Perburuhan Dunia atau ILO (2004) menyimpulkan bahwa “bagi kebanyakan perempuan, migrasi bukan hanya cara untuk pemberdayaan ekonomi, tetapi juga dan yang paling penting, suatu jalan untuk melepaskan diri dari hambatan norma-norma sosial-budaya dan peran subordinasi gender, serta untuk mencapai kemandirian atau emansipasi.”



Bila menyimak kesimpulan itu, seolah terdapat dua masalah—dalam dua ranah berbeda—yang menjadi faktor penyebab seorang perempuan memilih menjadi pekerja migran. Dalam kesimpulan itu, ILO mengakui bahwa motivasi ekonomi menduduki peranan yang dominan. Motivasi itu dimiliki oleh hampir seluruh pekerja migran (laki-laki maupun perempuan). Di samping itu, terdapat motivasi yang berlatar pada masalah-masalah politik dan kebudayaan.



Meski keduanya memiliki ranah yang berbeda hendaknya tidak dipandang sebagai masalah yang terpisah. Keduanya berasal dari suatu wilayah—ekonomi, politik, sosial, dan budaya—yang sama; yakni masyarakat Indonesia, sudah barang tentu ada suatu penyebab yang menjadi induk dari dua masalah tersebut. Esai ini berusaha mengulas masalah-masalah tersebut berdasarkan pengalaman empiris dan pengamatan sosial yang dilakukan penulis bersama pihak-pihak lain, baik di tanah air maupun di negeri penerima.



Kajian yang terfokus terhadap gejala feminisasi migrasi adalah faktor kunci untuk menemukan keterkaitan antara masalah-masalah ekonomi dan kebudayaan yang melatari migrasi tenaga kerja. Gejala ini merupakan paling umum, yang kian hari kian menunjukkan signifikansinya. Secara kasat mata, hal ini terlihat dari meningkatnya jumlah pekerja migran perempuan yang berangkat ke luar negeri. Pemandangan yang hampir serupa juga terlihat di terminal-terminal kedatangan (seperti terminal III Bandara Soekarno-Hatta) yang dikhususkan bagi pekerja migran. Jumlah pekerja migran perempuan yang pergi maupun yang datang atau pulang ke tanah air semakin hari kian bertambah banyak.



Tentu saja dibutuhkan studi yang khusus tentang keadaan perempuan Indonesia guna memperoleh pemahaman yang lebih utuh tentang kondisi struktural yang mendorong kaum perempuan melakukan migrasi. Sasaran studinya tidak lain mengarah pada kekuasaan dan sistem nilai feodal-patriarkhal yang masih dominan di pedesaan. Sistem inilah yang secara historis telah meminggirkan dan memperburuk keadaan perempuan, baik secara ekonomi, politik, maupun kebudayaan. Kita tentu mahfum, mayoritas pekerja perempuan—tidak hanya pekerja migran—berasal dari pedesaan.



Wilayah pedesaan dalam konteks ini tidak semata-mata suatu unit administratif dalam struktur pemerintahan Indonesia. Melainkan, suatu unit sosial yang ditandai dengan beberapa ciri. Ciri-ciri tersebut adalah; adanya sistem ekonomi yang homogen yang biasanya dicirikan dengan adanya ketergantungan yang cukup tinggi pada sektor pertanian, marjinal secara politik hal ini ditunjukkan dengan jauhnya akses desa terhadap sumber-sumber kekuasaan, dan relatif terbelakang secara kultural dalam arti terbatasnya akses masyarakat desa terhadap sarana pengembangan kebudayaan (khususnya sarana pendidikan dan kesehatan).



Sistem ekonomi yang homogen, dengan tingginya ketergantungan pada sektor pertanian (khususnya pertanian komoditi), menyebabkan masyarakat desa relatif tidak memiliki alternatif ekonomi lain. Meskipun di desa-desa sekarang sudah menjamur sektor-sektor usaha lain selain pertanian, seperti perdagangan skala kecil-menengah, warung-warung, atau transportasi, namun pertanian masih merupakan sumbu utama yang menghidupi perekonomian desa.



Dalam dua dekade terakhir, pertanian memang menyediakan lapangan kerja yang cukup luas bagi masyarakat desa. Urbanisasi yang berlangsung sepanjang saat itu, meningkatkan permintaan terhadap tenaga kerja pertanian (buruh-buruh tani). Namun sedikit sekali yang tertarik untuk menekuninya. Buruh-buruh tani dan penggarap tradisional lebih memilih menjadi buruh-buruh bangunan di kota-kota besar, ketimbang bertahan sebagai buruh tani.



Masalahnya tidak lain, selain karena pertanian sudah beralih—dari pertanian subsisten menjadi pertanian komoditi—kecilnya pendapatan ekonomi dari sektor ini menyebabkan masyarakat enggan bekerja di sektor pertanian. Akibatnya, banyak lahan pertanian tak tergarap oleh para pemiliknya yang juga tidak dapat disewa oleh masyarakat biasa karena tingginya biaya sewa lahan garapan. Akibat selanjutnya adalah konversi lahan, yang diawali dengan alih kepemilikan dan berujung pada monopoli penguasaan dan alih fungsi lahan pertanian menjadi areal pariwisata atau industri.



Dalam keadaan seperti itu, perempuan adalah kalangan yang pertama kali tersingkir. Mekanisasi pertanian yang ditawarkan pemerintah sebagai solusi kelangkaan tenaga kerja telah menghilangkan sendi-sendi kesederajatan dalam sistem produksi pertanian di desa-desa. Tenaga kerja perempuan menjadi tidak dibutuhkan, atau hanya menduduki posisi sekunder dalam pekerjaan-pekerjaan yang tidak terlalu membutuhkan keterampilan atau tidak berhubungan dengan alat-alat kerja mesin-mesin modern.



Akibatnya, pendapatan sebagai buruh tani perempuan menjadi tidak signifikan bagi perekonomian keluarga. Dampaknya pun merembet ke wilayah politik dan kebudayaan. Ketika akibat dari marjinalnya peranan ekonomi perempuan di pedesaan menyebabkan lemahnya daya tawar politik perempuan, sehingga tidak ada oposisi yang konkret terhadap dominasi sistem feudal-patriarkhal yang menghuni pedesaan.



Keadaan inilah yang memaksa perempuan keluar dari sekat-sekat kebudayaan feodal yang lapuk di pedesaan dan bekerja, baik di pusat-pusat industri dan perdagangan di perkotaan maupun bekerja di luar negeri. Pada awalnya, gelombang perpindahan perempuan mengikuti pola “desa menuju kota” atau biasa disebut dengan “urbanisasi”. Gelombang ini berlangsung khususnya sejak akhir dekade 1970-an dan 1980-an dan masih berlangsung hingga saat ini. Fenomena inilah yang banyak mendorong para orang-tua ‘mendandani’ anak-anak perempuannya dengan ijazah dan hal-hal lain agar bisa diterima bekerja di kota-kota besar.



Untuk sementara, anak-anak laki-lakinya hanya diberi pendidikan alakadarnya dan dibiarkan mencari pekerjaan sendiri di sektor informal. Akibatnya, peranan perempuan yang awalnya sekadar menambal kebutuhan keluarga, menjadi semakin signifikan sebagai penopang kelangsungan hidup keluarga. Padahal keadaan ini sebenarnya tidak menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan. Banyaknya permintaan tenaga kerja perempuan adalah karena rendahnya nilai tenaga kerja perempuan. Diskriminasi dalam hal pengupahan dan jaminan sosial tenaga kerjayang bersifat tripartit maupun dalam ketentuan-ketentuan perjanjian kerja bersama yang bersifat bipartit adalah keadaan yang harus diterima agar bisa bertahan di tempat kerja.



Pada saat tingkat ketergantungan pada pendapatan perempuan semakin meninggi, problem berikutnya muncul. Industrialisasi yang dibangun dengan cara mencangkokkan pada perputaran modal global yang tengah dilanda krisis overproduksi yang akut memang menyebabkan pabrik-pabrik di tanah air tidak mampu bersaing dalam iklim kompetisi perdagangan global.



Apalagi, keadaan ekonomi kini semakin tidak menguntungkan. Investasi lebih banyak mengalir ke sektor-sektor keuangan. Sedikit sekali investasi yang tertarik menghidupkan sektor riil. Pasalnya, memproduksi barang untuk dijual ke pasar dunia yang sudah jenuh akibat kelebihan produksi tentu saja akan merugikan. Pada sisi yang lain, keadaan negara semakin tidak sehat, akibat beratnya beban utang luar negeri yang mencekik anggaran yang disertai kronisnya penyakit korupsi dalam tubuh birokrasi. Satu-persatu pabrik mengalami kerontokkan. Walhasil, bekerja di pabrik menjadi tidak nyaman karena senantiasa dibayang-bayangi ancaman PHK atau relokasi dan penutupan pabrik.



Keadaan ini menghasilkan dua keadaan yang semakin ekstrem. Yakni, kemiskinan dan pengangguran yang semakin meningkat dan gelembung ekonomi yang semakin membesar akibat penumpukan kapital di sektor finans. Di satu sisi, kemiskinan dan pengangguran mempertinggi tuntutan lapangan pekerjaan, di sisi lain gelembung ekonomi yang kian membesar dan mudah pecah pada saat-saat tertentu, memaksa para pemegang kapital untuk mencari saluran-saluran baru agar bisa mempercepat sirkulasi dan penyerapan kapital.



Inilah keadaan yang “mempertemukan” calon pekerja migran dengan lembaga-lembaga keuangan dan penyalur pinjaman yang jumlahnya kian bertambah di pedesaan. Adanya fasilitas kredit dengan agunan rendah yang ditawarkan lembaga-lembaga keuangan dan pinjaman bagi para calon pekerja migran itulah turut mempertinggi gelombang migrasi tenaga kerja perempuan di Indonesia.



Karenanya, benar sebagian faktor yang memotivasi atau memaksa para perempuan untuk bermigrasi adalah keadaan domestiknya sendiri. Namun itu bukan satu-satunya faktor. Krisis yang melanda negeri kitalah yang memberikan dorongan paling besar bagi perempuan untuk bekerja di luar negeri. Kami tidak hanya terpaksa, melainkan juga ‘dipaksa’ keadaan untuk menjadi pekerja migran.



Lantas, mengapa perempuan? Karena tenaga kerja perempuan ‘dibandrol’ dengan harga yang murah. Itu saja.

1 komentar:

KISAH SUKSES IBU HERAWATI mengatakan...

Assalamu alaikum wr wb,,senang sekali saya bisa menulis dan berbagi kepada teman2 melalui room ini, sebelumnya dulu saya adalah seorang Pengusaha Butik yg Sukses, kini saya gulung tikar akibat di tipu teman sendiri, ditengah tagihan utang yg menumpuk, Suami pun meninggalkan saya, dan ditengah himpitan ekonomi seperti ini, saya coba buka internet untuk cari lowongan kerja, dan secara tdk sengaja sy liat situs pesugihan AKI SYEH MAULANA, awalnya saya ragu dan tidak percaya, tapi setelah saya lihat pembuktian video AKI ZYEH MAULANA Di Website/situnya Saya pun langsug hubungi beliau dan Semua petunjuk AKI saya ikuti dan hanya 3 hari, Alhamdulilah benar benar terbukti dan 2Miliar yang saya minta benar benar ada di tangan saya, semua utang saya lunas dan sisanya buat modal usaha, kata kata beliau yang selalu sy ingat setiap manusia bisa menjadi kaya, hanya saja terkadang mereka tidak tahu atau salah jalan. Banyak orang menganggap bahwa miskin dan kaya merupakan bagian dari takdir Tuhan. Takdir macam apa? Tuhan tidak akan memberikan takdir yang buruk terhadap kita, semua cobaan yang Tuhan berikan merupakan pembuktian seberapa kuat Anda bertahan di dalamnya. Tuhan tidak akan merubah nasib Anda jika Anda tidak berusaha untuk merubahnya. Dan satu hal yang perlu Anda ingat, “Jika Anda terlahir miskin itu bukan salah siapapun, namun jika Anda mati miskin itu merupakan salah Anda, saya juga tidak lupa mengucap syukur kepada ALLAH karna melalui Ritual Penarikan Dana Hibah/Pesugihan Putih AKI ZYEH MAULANA saya Bisa sukses. Jadi kawan2 yg dalam kesusahan jg pernah putus asah, kalau sudah waktunya tuhan pasti kasi jalan asal anda mau berusaha, AKI ZYEH MAULANA Banyak Dikenal Oleh Kalangan Pejabat, Pengusaha Dan Artis Ternama Karna Beliau adalah guru spiritual terkenal di indonesia,jika anda ingin seperti saya silahkan Lihat No Tlp Aki Di website/internet »»>KLIK DISINI<««





RITUAL DUNIA GHAIB

RITUAL TEMBUS TOGEL/LOTREY

BUAYER MUSTIKA