Senin, 10 September 2007

Nasib BMI di Hongkong

Korban Kegagalan Negara

Enny Lestari
Ketua Umum Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI)


Kita tidak bisa menyangkal, Buruh Migran Indonesia (BMI) adalah salah satu bagian warga negara yang telah memberikan sumbangan besar bagi pemerintah RI. Setidaknya, Rp 2 triliun pertahun disumbangkan para BMI melalui remittance yang dikutip dari pengiriman uang BMI ke kerabatnya di tanah air. Kalau saja, tidak ada korupsi di jajaran instansi yang mengurus masalah pengiriman BMI, tentu pendapatan negara bisa lebih besar. Sayang sekali.

Namun sumbangan yang besar yang diberikan para BMI kepada pemerintah masih tidak dihargai dengan semestinya. Pemerintah masih saja abai dalam memberantas calo-calo tenaga kerja yang kerap menipu calon BMI. Pemerintah pun tidak sepenuh hati menerapkan kebijakan perlindungan. Selain itu, pemerintah kerap kurang memberikan perhatian dan perlindungan bagi BMI ‘yang bermasalah’ di luar negeri. Tidak sedikit BMI yang harus menghadapi ancaman hukuman—bahkan sampai pada hukuman mati—yang hampir semuanya diakibatkan oleh lemahnya perlindungan pemerintah RI terhadap para BMI.

Bahkan, kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah—seperti penerapan sistem Terminal khusus TKI di bandara, seperti Terminal III Bandara Soekarno Hatta—justru memperburuk perlakuan terhadap BMI. Sejak diberlakukan sampai saat ini, terminal III Bandara Soekarno-Hatta menjadi momok yang paling menakutkan bagi para BMI yang hendap pulang ke tanah air. Rencana memperbanyak terminal khusus TKI (di Bandara Adisutjipto, Juanda, dan Hassanuddin) semakin membuat getir BMI.


Pemotongan Gaji Ilegal

Khususnya di Hongkong, sejak Mei 2006, otoritas setempat memberlakukan peraturan mengenai upah minimum bagi pembantu asing (domestic foreign helper) sebesar HK$ 3.400. Peraturan tersebut mengikat seluruh majikan yang mempekerjakan pembantu rumah tangga yang berasal dari luar negeri, termasuk dari Indonesia. Di samping itu, pemerintah Hongkong juga hanya membolehkan agen penyalur tenaga kerja asing untuk memungut biaya sebesar 10 persen dari gaji pertama. Potongan ini baisa disebut sebagai ‘biaya agen’. Pelanggaran terhadap peraturan ini bisa menyeret para majikan atau para agen penyalur ke pengadilan Hongkong.

Pada saat peraturan itu disusun, mayoritas BMI menerima upah di bawah ketentuan. Melalui survey terhadap sekitar 3.000 BMI yang diselenggarakan Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia-Hongkong (ATKI-HK), rata-rata BMI hanya memperoleh upah sebesar HK$ 1.800 sampai HK$ 2.000. Keadaan terparah atau upah yang lebih rendah bisa diderita para pembantu asing yang baru bekerja di Hongkong. Umumnya, para BMI yang baru menginjak Hongkong belum mengenal situasi dan tidak mengetahui peraturan-peraturan hukum Hongkong yang mengatur masalah pekerja asing.

Secara sederhana, fenomena ini disebut sebagai “underpayment” atau pembayaran upah dibawah ketentuan minimum. Bila kenyataan itu masih terjadi pasca Mei 2006, berarti majikan dapat diadukan ke pengadilan karena melanggar ketentuan upah bagi pembantu asing yang ditetapkan pemerintah Hongkong. Namun, setelah diteliti lebih dalam, masalahnya tidak sesederhana kasus ‘underpayment’ biasa.

Sebagian majikan ternyata membayar sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Bila demikian, berarti ada pihak di antara majikan dengan BMI yang turut memungut upah yang semestinya menjadi hak BMI. Hal ini dibenarkan oleh para majikan yang mengatakan bahwa upah yang dibayarkan kepada pembantu-pembantu asing yang bekerja di rumahnya memang tidak seluruhnya. Sebagian dari upah tersebut dibayarkan kepada agen sebagai “biaya agen”. Praktik pemotongan itu biasanya dilakukan selama lima sampai tujuh bulan.

Uniknya, praktik pelanggaran ini diketahui oleh para BMI, namun hampir tidak ada yang bisa dilakukan untuk menghentikannya. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Modus yang paling umum adalah adanya perjanjian utang (loan agreement) antara BMI dengan ‘pihak lain’ yang mewakili atau tidak mewakili agen penyalur TKI. Perjanjian itu biasanya ditandatangani di tanah air, beberapa saat sebelum calon BMI diberangkatkan ke negara penerima. Yang dimaksud dengan ‘pihak lain’ adalah lembaga-lembaga jasa penyalur kredit yang mengaku telah membiayai seluruh proses mulai dari pelatihan, makan-minum selama pelatihan, tiket pesawat, pembayaran visa kerja, dan lain-lain.

Rincian biaya-biaya itu disodorkan begitu saja untuk ditandatangani oleh calon BMI sebagai ‘pengakuan utang’. Di samping rincian biaya yang menjadi utang, di dalam surat tersebut juga terdapat mekanisme pembayaran yang ‘disepakati’. Dalam mekanisme itulah tertera kewajiban BMI untuk melakukan pembayaran dalam waktu tertentu yang diambil dari upah yang diterima per bulan. Untuk teknis pembayarannya dan jumlah utangnya, PJTKI di Indonesia dan agensinya di Hongkong, menerapkan standar yang berbeda, antara yang belum berpengalaman dan tidak berbahasa Kanton dengan yang sudah berpengalaman dan bisa berbahasa Kanton.

Untuk BMI yang belum berpengalaman dan tidak bisa berbahasa Kanton, PJTKI dan agensinya di Hongkong menetapkan upah sebesar HK$2000 per bulan. Merekalah yang disebut ‘underpaid’. Biasanya mereka dibebankan kewajiban untuk membayar sebesar HK$ 1.800 per bulan selama lima bulan pertama. Sementara bagi BMI yang sudah berpengalaman dan bisa berbahasa Kanton, upah yang diterimanya sebesar HK$ 3.400 per bulan atau sesuai dengan ketentuan (fully paid). Bagi BMI dalam kategori ini, beban yang diwajibkan sebesar HK$ 3.000 per bulan selama tujuh bulan pertama. Jadi, para BMI hanya memperoleh upah sebesar HK$200-HK$400 per bulan.

Akibatnya, tidak sedikit BMI yang harus merelakan pemotongan yang hampir 100 persen dari upah yang terimanya tiap bulan. Keadaan menjadi lebih buruk ketika pekerjaan yang dijanjikan agen ternyata berbeda atau fiktif. Sampai saat ini, sebagian besar BMI terikat utang cukup besar yang terkadang terbawa hingga saat BMI tersebut tidak lagi bekerja di luar negeri. Atas dasar loan agreement yang sudah ditandatangani, tidak jarang keluarga BMI di tanah air memperoleh intimidasi dan perlakukan kekerasan dari pihak-pihak tertentu yang mengaku diutus perusahaan-perusahaan penyalur kredit.

Korban Kegagalan Negara

Tentu saja, masalah ini tidak bisa diusut dengan menggunakan perangkat hukum yang ada di Hongkong. Dengan modus seperti di atas, ketentuan pemerintah Hongkong tidak bisa secara efektif menjangkau akar persoalan yang memang lebih banyak bermukim di tanah air. Karenanya, dibutuhkan usaha yang sangat keras dari pemerintah RI untuk memberantas praktik-praktik penindasan terselubung yang menimpa para BMI.

Pemerintah seharusnya tidak lagi mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang melulu hanya mengecewakan BMI. Di samping perlu memperketat pengawasan terhadap agen, pemerintah juga harus secara konsekuen memberantas perilaku-perilaku menyimpang dari jajarannya sendiri. Pastikan, penanganan masalah-masalah yang membelit BMI sejak di tanah air hingga kembali ke tanah air telah menjadi pokok perhatian pemerintah dalam membenahi sistem pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri.

Dengan melihat kultur masyarakat yang umumnya bercorak agraris dengan ikatan kekerabatan sosial yang masih cukup kuat, rasanya sedikit sekali orang Indonesia—khususnya perempuan—yang bercita-cita menjadi BMI dan bekerja di luar negeri. Harus dipahami bahwa gelombang migrasi tenaga kerja dari Indonesia ke berbagai negeri adalah bentuk keterpaksaan akibat sempitnya lapangan kerja di dalam negeri.

Dengan kata lain, kegagalan pemerintah dalam memenuhi kewajiban konstitusionalnya untuk memberikan pekerjaan dan penghidupan yang layak untuk seluruh warga negara adalah faktor utama yang menyebabkan derasnya migrasi tenaga kerja. Singkatnya, gejala ini adalah adalah akibat dari sekian banyak faktor penyebab yang terjadi di dalam negeri. Dan, sebagian warga negara yang terpaksa bekerja di luar negeri adalah ‘korban’ kegagalan negara.

Kita tidak ingin, para BMI sebagai ‘korban kegagalan negara’ kembali harus dikorbankan akibat dari kebobrokan pemerintah.

Tidak ada komentar: